“Selamat datang, Bintang!” Malam ini kembali kau penuhi langit-langitku dengan kerlap-kerlip nan rupawan di atas sana. Tetap dengan senyum, aku mengingat siluet bayangan manis perawanku yang masih bertengger angkuh memenuhi ruang 3×4 ini.
**
Cakra. Ya, demikian orang-orang meneriakkan sebaris nama itu saat memanggilku. Dari dulu hingga saat ini, masih saja “Cakra” yang kudengar tatkala mereka menyebutku.
Sama seperti makhluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki lainnya, dengan usiaku yang hampir menginjak kepala tiga di bulan ini. Sepertinya, aku mulai membutuhkan seorang perempuan untuk menemani malam-malamku. Lebih tepatnya memenuhi segala kebutuhanku sebagai lelaki dewasa.
Apa yang menjadi penghalang bagiku? Bukankah yang dibutuhkan seorang perempuan hanya kenyamanan dan keamanan? Saat seorang lelaki telah mampu memberikan itu semua, kupikir tidak akan ada keraguan.
Aku memiliki pekerjan! Walaupun tidak sebagai direktur atau manajer, dengan posisi staf eksekutif di sebuah BUMN, aku cukup mampu menghidupi seorang perempuan. Ditambah dua atau tiga orang anak pun, aku yakin gaji yang kumiliki saat ini masih bisa memenuhi semua kebutuhan mereka.
Apalagi yang harus kurisaukan? Soal wajah? Meski tidak bisa dikategorikan ganteng, aku cukup bersyukur dilahirkan dengan segala kelengkapan dan sebuah tatapan yang membuat detak jantung perempuan mana pun bergetar.
Menimbang, tidak ada permasalahan yang dapat menghalangiku. Aku mulai membulatkan tekad untuk menikah tahun ini.
**
“Ra, kemarin bapak dan ibu sudah menemui Haji Sulaiman,” ucap ibu saat kami bertiga sedang menikmati sarapan,
Kata-kata ibu membuyarkan lamunanku. Sebenarnya, aku tidak terlalu setuju dengan ide mereka yang berniat mencarikan pasangan hidup untukku. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya aku harus menyerah. Jujur, aku sendiri tak begitu banyak waktu untuk berburu wanita. Pekerjaan yang padat dan sifat pemaluku menjadi kendala terbesar dalam persoalan menjerat hati.
“Terus, bagaimana, Bu? Tanyaku seadanya.
“Beliau setuju. Aminah, anak gadisnya, juga tampaknya manut-manut saja tanpa penolakan. Tanggal baik juga telah kami pilih,” lanjut ibu seraya mengerlingkan matanya ke arah bapak sebagai tanda meminta persetujuan.
Belum sempat aku memberikan tanggapan, suara berat bapak menimpali. “Iya, kami telah menetapkan pernikahan untuk dilangsungkan pada akhir bulan depan”, tegasnya.
Aku hanya terdiam, terpaku dengan sepotong roti yang belum sempat kulahap. Keputusan tersebut terdengar seperti hukuman gantung untukku. Tiba-tiba aku menjadi ragu. Segala ketakutan menjalar perlahan di sela-sela hatiku.