Friday, March 29, 2024
Home > Literasi > Cerita > Tuyul

Tuyul

Tuyul

Sungguh, aku menyesal cerita pada nenek tua itu. Padahal tema yang kuangkat saat bercerita adalah soal penampakan hantu anak kecil. Kukira akan berujung pada anak korban kekerasan yang kemudian wafat, lalu ruhnya mengawang-awang seperti di film, bukan tuyul yang mencuri uang warga.

Lalu, Nyai Neti selancar angin menceritakan kisah itu ke semua pembeli yang tengah menunggui ia meracik lontong atau nasi gemuk[1]. Sebentar saja, seisi lorong menjadi heboh dengan cerita pengalamanku yang sudah tidak orisinil lagi. Di RT sana beredar anak kecil itu memanggil-manggil agar aku mengikutinya, di RT sebelahnya diceritakan kejadian itu berlangsung saat subuh. Versi tiap RT berbeda-beda. Aku malas mengklarifikasi.

Naasnya, satu pekan kemudian, anak kecil itu mendatangiku lagi. Dan tiap pekan berikutnya ia mesti hadir satu kali di hari yang ia tentukan sendiri.

Tiba-tiba kerumunan itu bubar. Seperti ada yang menyeruak di antara mereka. Dan benar saja, tahu-tahu Sofiah muncul di hadapanku.

“Bu Menik ada masalah apa sama saya, kok tega-teganya memfitnah begitu!” Sofiah berkacak pinggang. Pasti mukaku pucat.

“Saya sudah berpuluh-puluh kali bilang sama ibu-ibu di sini, saya nggak maksud bilang situ punya tuyul. Malah saya nggak bilang anak yang saya temui itu tuyul. Bahwa dia lari trus hilang di rumahmu, ya memang begitu kejadiannya.”

“Dengar ya, Ibu-Ibu,” Sofiah menyapu pandang pada semua hadirin warung. “saya ini bekerja. Memang gaji saya kecil, tapi masih cukup untuk keluarga. Saya mendidik anak saya untuk hidup mandiri, sederhana, dan rajin bersyukur, jadi saya tidak perlu pelihara tuyul untuk hidupi anak-anak saya!”

“Dia malah ceramah,” bisik Bu Nani pada Bu Paras. Sofiah menoleh mereka. Keduanya pura-pura tak melihat.

Hadirin tercenung, pun Nyai Neti. Aku sendiri antara malu dan lega.

“Bu Menik,” Sofiah memanggil. Aneh sekali, tiba-tiba aku merasa takut melihat perempuan yang tujuh tahun lebih muda dariku itu. “Tadi saya dipanggil Bu RT, diminta memberi penjelasan. Saya minta nanti malam kita sama-sama bersumpah pocong di masjid. Biar jelas siapa yang benar dan siapa yang salah.”

Mampus! Aku memaki dalam hati. Gara-gara lidah ini! Kupukul mulutku sendiri, orang-orang heran melihat tingkahku.

Gak usah takut, kami di belakang Bu Menik,” bisik Bu Paras. Apa gunanya? Pikirku.

“Saya tidak mau,” jawabku kemudian.

“Kenapa?” Sofiah seperti mendapat angin, ia jadi makin berani.

Kan sudah saya bilang tadi, saya tidak bilang situ punya tuyul. Saya cuma cerita ke Nyai Neti kalau malam itu dan beberapa malam kemudian saya lihat anak kecil malam-malam. Kalau ada yang bilang anak itu tuyul, dan peliharaanmu, berarti Nyai Neti orangnya.”

Translate »