Dengannya, saat itu kau masih memikirkan apa yang seharusnya kaulakukan. Sedang senja sudah semakin menua, dan orang-orang sudah mulai menepi dari keramaian. Dari sudut barat, perlahan-lahan ingga-jingga beralih gelap. Malam akan tiba sebentar lagi.
“Apakah kau benar-benar yakin?”
Dia hanya mengangguk. Senyum di bibir tipisnya memang tak semerona biasanya, tapi cukup untuk membuatmu tenang beberapa saat sampai akhirnya harus gusar lagi. Kau masih ragu-ragu.
Sebenarnya apa yang sedang kaupikirkan hampir sama saja dengan apa yang sedang dia pikirkan. Dari balik kacamata itu, sorot matamu tampak sembap. Ada isyarat bahwa kau baru saja terjerembap, dan kau menunggu sikap. Dia bukan orang yang sebenarnya berhak kausalahkan, atau kauminta pertanggungjawaban. Dia hanyalah orang yang ada dan berniat selalu ada untukmu.
“Tapi bagaimana kelanjutannya nanti?”
Kau masih saja belum benar-benar percaya padanya. Mungkin, dalam batinmu, ada yang mengganjal dari jawabannya. Rambutnya yang lurus, jatuh sampai menutupi sebagian mata kanannya saat menunduk. Ketika dia mengangkat kepalanya, menatap ke depan, lalu berkata, “kita pikirkan nanti.”
“Itu bukan jawaban, No. Itu bukan jawaban yang bisa menenangkanku.”
“Tapi, untuk sementara, itulah jawaban yang bisa menenangkanku.”
“Kau tak mengerti perempuan, lalu kenapa berani bilang cinta?”
“Jika kau tak mengerti laki-laki, kenapa berani menerima cinta?”
Percuma saja, Lastri. Berapa kali pun kau memaksa Tono, dia tetaplah dia. Kalian mungkin pernah punya satu hati, tapi tetap pada dua kepala. Untuk apa lagi kau mengharapkannya, sedangkan semua orang tahu, kaulah yang salah.
“Apa kau tega melihatku seperti ini?”
“Justru karena aku tidak tega.”
“Kenapa kau tak bunuh aku saja?”
“Dan kau memaksa aku menyesal seumur hidupku?”
“Tapi aku sudah menyesal seumur hidupku. Kau harus bayangkan itu, Tono. Atau setidaknya, kau harus pikirkan aku juga. Kita seharusnya….”
“Seharusnya apa?”
Itu cukup membuatmu terdiam.
Kau ini, masih saja keras kepala. Masih untung dia mau mendengarkan ceritamu. Bayangkan jika kau cerita pada ibumu, dia hanya akan menangis dan mengusirmu dari rumah. Kau hanya akan jadi orang gila yang tertawa-tawa sendiri membawa pikiranmu yang tak tentu arah. Atau, bisa saja kau menjadi gelandangan yang mengais-ngais di tong sampah.
Mungkin kau berpikir, bisa menceritakan semuanya pada ayahmu. Tapi kau ingat sendiri kan, bagaimana dia pernah mengejar orang yang menumpang tinggal di rumahmu ketika kau masih kecil dengan parang tajam dan panjang di tangannya hanya karena mencuri ayam tetangga? Itu lebih gila. Dia bisa saja melakukan apa saja padamu, bahkan jika kau seorang perempuan sekali pun.