Friday, March 29, 2024
Home > Literasi > Resensi > Penolakan Ryunosuke Akutagawa terhadap Realitas

Penolakan Ryunosuke Akutagawa terhadap Realitas

Penolakan Ryunosuke Akutagawa terhadap Realitas

Kappa adalah novel yang ditulis oleh Ryuunosuke Akutagawa pada 1927. Novel ini mengisahkan tentang lelaki gila berusia tiga puluh tahun – penghuni kamar no. 23 sebuah rumah sakit jiwa di Jepang yang bercerita kepada sang dokter bahwa ia pernah bertemu Kappa. Tokoh di dalam cerita ini tidak diberi nama, namun memakai sudut pandang orang pertama “Aku”. Kappa adalah sejenis amfibi yang memiliki tempurung seperti kura-kura dan bermoncong panjang. Di dalam Folklor Jepang, Kappa dipercayai ada. Kappa juga mirip seperti bunglon. Ia dapat berubah warna sesuai warna tempat di sekitarnya. Tokoh Kappa digambarkan sebagai makhluk kerdil dengan kecerdasan yang melebihi manusia, namun memiliki moral yang jauh lebih rendah daripada manusia.

Kappa yang diceritakan oleh Akutagawa banyak berisi nada-nada satire yang penuh dengan kritik sosial. Barangkali sisi kehidupan inilah, dunia yang sebenarnya diidam-idamkan oleh Akutagawa. Sejatinya, Kappa tersebut merupakan alegori terhadap gambaran masyarakat Jepang di era 1920-an yang sebagian besar isinya adalah penolakan-penolakan Akutagawa terhadap realitas atau bisa dikatakan dunia di dalam Kappa adalah kebalikan dari dunia manusia. Meski, pada beberapa hal, ada juga kemiripan dengan kehidupan di dunia – khususnya Indonesia – atau bahkan semacam ramalan yang akan terjadi di dunia, bahkan Indonesia.

Fenomena dunia yang terbalik dalam dunia Kappa atau penolakan terhadap realitas Akutagawa, dibuka dengan cerita saat tokoh Aku yang hendak mendaki Gunung Hodaka, ia melihat Kappa dan hendak menangkapnya, namun kenyataannya malah ia yang ditangkap oleh Kappa dan dibawa ke dunia para Kappa melalui lubang yang memancarkan cahaya. Para Kappa menjelaskan bahwa banyak kaum manusia yang sudah ia tangkap (dijadikan peliharaan) dan tidak mau pulang ke dunia manusia karena merasa nyaman. Padahal kenyataannya, manusia bukanlah makhluk yang lemah – yang bisa dengan mudahnya ditangkap oleh hewan sekelas amfibi – biasanya, malah manusialah yang menangkap binantang – juga memelihara binatang dengan kasih sayangnya.

Kedua, penolakan terhadap kelahiran bisa dilakukan oleh calon bayi Kappa. Saat Ibu Kappa hendak melahirkan, sang ayah memegang perut istrinya sambil menanyakan apakah bayi Kappa tersebut mau dilahirkan ke dunia atau tidak. Pada Bagian IV, bayi Kappa mengatakan bahwa ia tidak mau dilahirkan karena tidak ingin mewarisi kegilaan orang tuanya yang mengerikan sehingga tiba-tiba perut Ibu Kappa mengempis dan bayinya hilang entah kemana. Di kehidupan nyata, bayi yang akan dilahirkan tidak bisa menolak takdirnya untuk dilahirkan. Saya curiga, hal ini merupakan pemberontakan Akutagawa yang merasa menyesal dilahirkan sebagai manusia karena memiliki ibu yang gila, sehingga semasa hidupnya, Akutagawa dibesarkan oleh bibinya. Juga saat digambarkan seekor Kappa penyair – Tock – yang bunuh diri merupakan potret masyarakat Jepang yang mudah bunuh diri ketika depresi. Bunuh diri di kalangan masyarakat Jepang sendiri adalah hal yang biasa. Tidak sedikit penulis-penulis Jepang ternama yang mati bunuh diri, sebut saja dua sahabat karib: Yukio Mishima dan Yasunari Kawabata. Juga Ryuunosuke Akutagawa sendiri yang mengakhiri hidupnya sendiri di usia 35 tahun.

Translate »