Thursday, March 28, 2024
Home > Literasi > Opini/esai > Jangan Tanya Kapan Saya Menikah!

Jangan Tanya Kapan Saya Menikah!

Kapan kamu menikah?

Kapan lagi coba? Ingat umur loh, keburu kedaluwarsa.

Eh, kamu kan perempuan, jangan sampai kelamaan! Kalau cowok masih santailah.

Pertanyaan dan pernyataan di atas agaknya sering kali diterima oleh perempuan dewasa yang belum menikah. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa usia dewasa ialah 21 tahun. Meskipun demikian, syarat boleh menikah untuk perempuan Indonesia tidak perlu menunggu umur 21 tahun. Bagi perempuan delapan belas tahun yang ingin menikah sudah diperbolehkan karena batas minimal usia menikah bagi perempuan adalah usia delapan belas tahun. Usia minimal ini pun didapat setelah diadakannya KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) di Cirebon, 27 April 2017 lalu. Sebelumnya, batas minimal usia menikah pada perempuan enam belas tahun.

Ketika peraturan lama berlaku, kenyataannya masih banyak juga remaja yang menikah di bawah umur yang telah ditentukan. Pernikahan di bawah umur minimal ini, kerap menjadi masalah bagi pihak terkait, seperti BKKBN dan Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan. Namun di masyarakat, menikah dini – meskipun menjadi bahan perbincangan, paling-paling hanya sepintas lalu – dan tidak jadi soal. Berbeda perlakuannya terhadap perempuan dewasa yang belum menikah.

Saya, gadis dengan usia 28 tahun. Tak ada yang aneh, memang. Hanya yang menjadi salah apabila ada orang yang selalu mempertanyakan status. Dalam hal ini, “selalu” mempertanyakan kapan saya menikah. Suatu waktu saya bertemu teman lama. Pada perjumpaan itu, saya ditanya “eh kapan lagi?” Saya yang ditanya sontak heran dan membatin. Maksudnya kapan apa ya? Bukankah kita tidak pernah mengobrol sebelumnya? Saya pun menjawab dengan bertanya “Kapan apa ya?” dengan nada bercanda. Oh, oke. Anggap saja itu bercanda. Dia pun menjawab “Kapan menyebar undangan?” tanpa perlu saya perjelas lagi saya langsung tahu arah dan maksudnya. Sambil tersenyum penuh dusta saya pun menjawab “Tunggu saja undangannnya, tidak mungkin kamu tak saya undang.”

Pada kesempatan lainnya, masih dengan orang yang sama, dengan pertanyaan yang hampir mirip diksinya, tetapi kali ini lebih mengagetkan. “Hai, kapan pulang? Sudah mau nikah ya?” Pada saat itu juga saya langsung memutar otak untuk memilih jawaban yang anggun dan elegan. Akhirnya, saya hanya mengatakan “Ah dapat kabar dari siapa? Aduh didoakan saja ya, ini kebetulan lagi cuti kok pulangnya.”

Kali lain, dan setelah banyak “kali yang lainnya” masih dengan orang yang sama. Dengan kata serupa ia pun bertanya lagi. “Eh di sini ya sekarang, kapan nih ngundangnya?” Pada tahap ini, saya sudah tak tahan lagi. Barangkali juga sedang PMS – ah, saya tak ingin juga selalu menyebut PMS sebagai kambing hitam. Akhirnya, saya ingat ucapan seorang kawan, yang bernasib sama seperti saya.

Translate »