Halaman: 1 2
Beberapa tahun belakangan ini, Jambi ternyata menjadi zona merah yang patut diperhatikan bagi tumbuh kembangnya paham dan praktik gerakan radikalisme, terorisme serta intoleransi. Ini terekam atas beberapa peristiwa seperti kasus penistaan lafadz Allah di sebuah hotel, penyerangan kantor polisi di Muaro Sebo, kabupaten Muaro Jambi, kasus pelecehan agama Islam oleh seorang mahasiswa, hingga kasus personel polisi yang terpapar paham radikal.
Untuk itulah, Seloko Institute menggelar dialog yang diberi tajuk “Potret Kritis Keberagamaan di Jambi” pada 24 Juni 2018 kemarin, bertempat di cafe hotel Nusa Wijaya, kota Jambi. Kegiatan ini didukung oleh Forum Film Jambi, SKY, LPPM STISIP Nurdin Hamzah, Kajanglako.com, Puan.co, GK, dan beberapa sponsorship lainnya. Hadir sebagai narasumber yaitu tokoh lintas agama seperti Freddy Torang S (Katolik), Fajri Almughni (Islam), Rudy Zhang (Budha).
Dialog tersebut diawali dengan membahas penelitian dari Fajri Almughni tentang toleransi yang ada di kampung Penyengat Rendah, kota Jambi. Penelitian tersebut memaparkan bahwa masyarakat Penyengat Rendah yang pada umumnya merupakan orang Melayu beragama Islam, dalam pergaulan sehari-hari menghargai dan toleran terhadap tetangga mereka yang berbeda agama, namun toleransi tersebut tidak untuk urusan mendirikan rumah ibadah agama lain.
Masyarakat Penyengat Rendah cenderung melakukan penolakan kepada agama lain untuk mendirikan rumah ibadah. Penolakan juga dilakukan ketika agama lain melakukan sumbangan dan bantuan. Fajri mengemukakan bahwa alasan hal tersebut terjadi karena ada persepsi mengenai upaya untuk mendoktrin masyarakat agar ikut atau berpindah agama. Alasan lainnya yaitu adanya persepsi mengenai ketakutan akan terganggunya akidah mayoritas umat Islam yang ada.
Sementara itu Freddy mengemukakan bahwa paska reformasi justru sikap toleran dalam kerangka keberagamaan mengalami kemunduran. Sikap-sikap intoleran justru menguat pada paska reformasi ketika demokrasi justru menjadi acuan. Gambaran akan sikap ini dapat dilihat pada banyak kasus diskriminasi menggunakan politik identitas, apakah itu karena suku minoritas, agama minoritas. Disamping itu penolakan terhadap pendirian rumah ibadah kian marak.
Freddy berpendapat bahwa hal ini dikarenakan kran arus ideologi internasional yang dibuka seluas-luasnya paska reformasi. Sehingga sikap-sikap intoleran yang kian berkembang dalam kerangka keberagamaan itu mengambil tempat pada bentuk radikalisme dan terorisme. Dalam hal ini Freddy menyoroti pemerintah yang justru tunduk pada tekanan kelompok-kelompok pelaku intoleransi.