Halaman: 1 2
Pada Selasa (29/5), Seloko Institute menggelar bedah buku Ada Aku antara Tionghoa dan Indonesia di Kampus STISIP Nurdin Hamzah Kota Jambi mulai pukul 15.30 – 18.15 dengan diakhiri dengan buka bersama. Para pembicara acara bedah buku antara lain, Meilana K. Tansri (novelis Jambi), Ratna Dewi (Seloko Institute), Ramdan Sirait (Rumah Pencerahan), dan dimoderatori oleh Wiwin Eko Santoso (Pengajar Sejarah Ganesha Operation).
Buku yang ditulis oleh beberapa orang Tionghoa yang bermukim di Jakarta ini merupakan buku sederhana yang mengisahkan segelintir pengalaman hidup sehari-hari, yang kadangkala masih menerima diskriminasi di tengah-tengah kaum mayoritas. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Ananda Srva diberi kata pengantar oleh Anita Wahid.
Ratna Dewi mengatakan bahwa menjadi minoritas di Indonesia memang tidak mudah, tetapi menjadi mayoritas pun kadang membuat masgyul. Seperti 72 narasi kolektif yang dihimpun buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia. Bukan hanya merekam pahitnya kilas hidup dari warga minoritas, melainkan juga dari mereka yang terkategori mayoritas dan berada di titik persinggungan keduanya.
Buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia memang terbilang cukup lengkap mengoleksi rupa batin persinggungan Tionghoa dengan Indonesia. Segala yang mengada di antara keduanya, meliputi sejarah kelam juga cerlang, konflik identitas, politik ekonomi negara, budaya komunitarian, hingga peta geopolitik internasional memperkaya narasi memori 72 penulis yang dirangkum dalam 438 halaman. Hasilnya, berbagai pengalaman streotipe, labelisasi, prejudis, hingga antipati menjadi terma dominan yang diceritakan.
Kesedihan, kekecewaan dan kemarahan mengambang kuat, walau sesekali menyembul juga ucap syukur, kegairahan dan motivasi, juga tak kurang gelora cinta bangsa yang muncul menjadi penawar bagi luka-luka lama. Adi Sujatmika Tjong, misalnya, pernah mengalami masa-masa ekstrem dari superioritasnya sebagai Tionghoa berprestasi di sekolah, yang kemudian terpuruk melihat kenyataan bahwa ilmunya yang tinggi tak berbanding lurus dengan pilihan hidup pascasekolah yang sempit selain berdagang. Tjong yang frustasi, sempat memendam benci pada ketionghoaannya dan Indonesia. Namun, ia melawan dan bangkit menolak sekat primordialisme yang menurutnya adalah mitos-mitos belaka. Tjong menolak konstruksi demarkasi menahun yang memisahkan kaumnya dengan etnis kebanyakan dan menyebut nasionalisme sebagai obat.
Buku ini juga menyibak banyak hal yang mungkin tidak semua kita ketahui. Antara lain soal adanya kuota tak tertulis bagi anak Tionghoa yang membatasi jumlah mereka di sekolah negeri, fakultas kedokteran, dan fakultas lain yang dianggap bergengsi. Kuota ini berkisar antara 3 – 5%. Kesulitan mendapatkan sekolah, mendorong komunitas Tionghoa dan kristen membuat mereka mendirikan sekolah sendiri. Sementara sebagian yang ekonominya kuat, memilih mengenyam pendidikan di luar negeri. Namun, langkah ini pun tetap mengundang pandangan sinis lain dengan menyebut mereka sebagai kaum yang eksklusif dan menolak pembauran. Singkatnya, begini salah, begitu keliru.