Friday, March 29, 2024
Home > Literasi > Cerita > Gadis Ngarot

Gadis Ngarot

gantung diri

Sambil bersungut-sungut, Danastri bangkit. “Danastri belum kepikiran menikah, Mi,” jawab Danastri, “inginnya sih kerja dulu bantu-bantu mama.”

Mimi Roedah menghela napas. Keras kepala sekali Danastri, putri bungsunya yang masih gadis itu. Dua anak perempuannya yang lain tak sesulit Danastri. Dulu, ketika Apsari dan Gantari, kakak Danastri masih gadis, Mimi Roedah tak banyak mendapatkan alasan keberatan dari keduanya. Bahkan mereka sangat bersemangat sekali mengikuti kirab ngarot yang di awali dengan arak-arakan keliling desa. Dilanjutkan dengan upacara ngarot, yakni kepala desa dan sesepuh adat menitipkan kepada para gadis dan jejaka ngarot bibit padi unggulan, air, pupuk, dan peralatan pertanian lainnya sebagai simbol upaya melestarikan tradisi yang sudah dilahirkan secara turun temurun. Upacara tradisional masyarakat Lelea menjelang musim tanam inilah yang dimaksudkan ngarot.

“Dengar Tri, ngarot itu bukan sekadar pesta menyongsong datangnya musim tanam padi,” tutur Mak Roedah sambil membenarkan letak selendang Danastri, “ngarot juga bertujuan untuk menjaga pergaulan anak muda sepertimu. Jangan sampai bergaul melebihi batas!”

Kali ini kedua tangan keriput Mimi Roedah turut membenahi sanggul rambut anaknya yang sudah dihiasi rangkaian mahkota bunga kenanga, melati dan bunga kertas. Semerbak wanginya tercium begitu segar dan harum.

“Kau tahu Danastri, bunga-bunga di atas kepalamu ini bukan sekadar penghias rambut belaka, bukan hanya pewangi alami yang tanpa makna, bahkan dapat menjadi penanda kehormatan bagi seorang gadis. Rangkaian bunga ini akan layu bila ada gadis ngarot tidak lagi perawan. Makanya tidak ada gadis yang menolak ikut ngarot kecuali gadis itu sudah tidak perawan!”

Danastri kembali memandangi wajah Mimi Roedah. Entah mengapa hatinya berdesir mendengar kalimat terakhir ibunya itu.

 

/2//

Arak-arakan gadis dan jejaka ngarot yang dipimpin Kepala Desa Lelela dan sesepuh adat mengitari jalan-jalan desa, berkeliling-keliling, lalu berakhir untuk mengikuti upacara ngarot di kantor kepala desa. Kesenian tradisional Indramayu macam sintren, berokan maupun tari topeng ikut meramaikan iring-iringan. Danastri berjalan di antara gadis-gadis ngarot yang berpakaian kebaya, berkain batik, dan berhias mahkota bunga di kepalanya. Sementara jejaka–jejaka ngarot berjalan di belakangnnya, berpakaian serba hitam menyerupai petani dengan membawa alat-alat pertanian.

“Kalau anak perawan itu tidak gadis lagi, maka rangkaian bunganya akan layu,” begitu kata Kepala Desa Lelea. Deretan kata itu adalah mitos leluhur yang sampai hari ini masih dipertahankan. Tak sekadar mitos, kalimat itu akan terus dilestarikan lantaran memiliki banyak nilai dan makna untuk kehidupan masyarakat Desa Lelea dalam menjaga pergaulan remaja dan pemudanya.

Translate »