Saturday, April 20, 2024
Home > Literasi > Cerita > Gadis Ngarot

Gadis Ngarot

gantung diri

Gadis dan jejaka ngarot duduk bersimpuh dan bersila di aula kantor kepala desa mendengarkan pembacaan sejarah ngarot dan wejangan kepala desanya. Mereka mengikuti pula proses penyerahan bibit padi, kendi berisi air, obat penyubur serta cangkul sebagai simbol untuk segera memulai menanam padi.

Selesai itu, gadis dan jejaka ngarot menyaksikan kesenian tradisional tari ronggeng ketuk yang dimaksudkan untuk menggoda agar para jejaka dan gadis berpandang-pandangan untuk selanjutnya saling jatuh cinta dan menemukan pasangan atau jodohnya.

​Saat itulah, dulu Mimi Roedah dan Mama Saridin, orang tua Danastri serta pasangan suami isti masyarakat Desa Lelea menemukan belahan jiwanya dan mendapatkan pujaan hatinya.  Musim tanam padi sekaligus musim mencari jodoh dan pasangan.

Kemudian semua mata tertuju pada Danastri. Gadis dan jejaka ngarot serta orang-orang yang hadir memenuhi kantor kepala desa saling berbisik kasak-kusuk. Semula hanya berupa suara gumaman, namun lambat laun menjadi gaduh dan riuh rendah.

Danastri belum memahami apa yang tengah terjadi, namun perasaannya mulai peka karena ia merasa sedang diperhatikan banyak orang.

“Tri, Danastri!” seru Ambarwati di sampingnya. “Bunga-bunga di kepalamu tampak layu.”

Danastri terkejut mendengarnya. Tangannya secara tak disadarinya mengambil beberapa mahkota bunga yang terselip di atas kepalanya. Benar, bunga-bunga yang diambilnya tampak tak segar lagi. Layu seperti berumur lima hari dari hari pertama dipetik.

Danastri bangkit dan berlari meninggalkan kantor kepala desa. Sementara ayah ibunya terpontal-pontal mengejar sambil berteriak-teriak memanggilnya.

“Tri…. Danastri…. tunggu….!”

Upacara ngarot pecah karena Danastri. Orang-orang mulai menghubungkan ketidakhadiran Danastri pada ngarot tahun lalu.

“Pantas saja tahun yang lalu putri bungsu Pak Saridin itu tidak mau ikut ngarot, ternyata kejadiannya seperti ini.” Ucap peserta ngarot mencoba menyimpulkan pandangannya.

“Iya ya, tidak disangka-sangka.” Peserta lain berpandangan serupa.

Kepala Desa Lelea dan sesepuh adat berunding dan bermusyawarah di ruang kerja kepala desa untuk membahas persoalan layunya rangkaian bunga milik Danastri, seorang peserta gadis ngarot.

“Danastri sudah tidak perawan, buktinya semua rangkaian bunga di kepalanya layu semua!” Argumen seorang sesepuh adat yang diikuti pendapat sesepuh yang lain.

“Benar pak! Sudah tidak perawan! Begitu kan tuah bunga-bunga itu jika gadis ngarot tidak perawan?”

“Ya benar, seperti itu mitosnya,” ujar kepala desa.

Pada hari itu juga Kepala Desa Lelea memanggil Danastri dan orang tuanya untuk dimintai keterangannya. Sepanjang perjalanannya dari rumah ke kantor kepala desa, Danastri menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Cacian dan cemoohan dilemparkan orang-orang kepadanya. Bahkan, Mimi Roedah dan Mama Saridin ikut terkena imbasnya karena dianggap tidak bisa menjaga anak gadisnya.

Translate »