Friday, April 19, 2024
Home > Literasi > Opini/esai > Penulis, Aladin, dan Lampu Ajaib

Penulis, Aladin, dan Lampu Ajaib

Penulis, Jin, dan Lampu Aladin

MENJADI seorang penulis adalah upaya membebaskan diri dari “rasa sakit” akibat penatnya dunia. Menuliskan isi pikiran dalam sebuah kertas tentu tidak mudah. Kita harus benar-benar dapat meyakinkan setiap orang bahwa apa yang disampaikan itu adalah sebuah kebenaran.

Seperti yang dilakukan seorang nabi untuk meyakinkan umatnya ketika mendapat wahyu dari zat yang Maha Tinggi. Ia dituntut bisa menyampaikan wahyu yang diterima agar dipercayai oleh para pengikutnya, dan kenabiannya pun diakui. Seorang penulis juga harus melakukan hal yang serupa, karena penulis pun membutuhkan sebuah pengakuan. Jika nabi mendapat pengakuan dari umatnya, maka penulis butuh pengakuan dari orang-orang yang membaca karyanya.

Dalam diri seorang penulis, sudah terpancang komitmen untuk selalu menulis. Namun, pilihan ini tidak sertamerta membuatnya menulis apa saja seenak perutnya. Kita tahu bahwa dunia butuh sentuhan berupa ide segar melalui tulisan, tapi bukan sekadar omong kosong belaka. Dan ini tak ubahnya sebuah siksaan bagi penulis. Pikirannya selalu menerawang tiada henti. Bahkan, saat tidur pun demikian adanya. Alangkah menderita mengalami hal demikian itu. Sebab, nyatanya tak mudah menyampaikan apa yang tak terpikirkan oleh orang lain itu dalam bentuk kata-kata.

Kadang seorang penulis juga menyadari selalu dihujam segelintir tanya yang menohok kalbu. Kenapa harus aku dan bukannya mereka? kenapa pula aku yang harus menderita sementara yang lain tidak? Apa mereka mengalami ilusi semacam ini? Jika benar…, kenapa mereka tak melakukan sebuah usaha seperti yang aku lakukan sebagai upaya dari pembebasan diri. Apa mereka tak berjuang ya?”

Baca juga: Andai Membaca Semenarik Masturbasi

Apapun itu, selalu membuat seorang penulis tetap gelisah ketika tangannya tak menyentuh pena dan kertas. Ia seperti menjadi orang “tak waras” ketika harus berdiam diri membiarkan pikirannya menghambur-hambur tak menentu. Bagi orang-orang yang tak memahaminya, bisa saja menganggapnya sebagai seorang aneh dan tak waras yang harus diruqyah. Padahal, ia hanya butuh waktu untuk menulis. Dengan cara ini, ia akan benar-benar merasa terbebas dari pikiran yang membelenggu itu.

Dalam Arabian Night ada cerita Sultan dan Putri Sheherazad. Dalam kisah-kisah fantastis negeri 1001 malam itu, jin ternyata tak melulu jahat. Ia pun sama seperti halnya kita: ada yang baik, konyol, jahat, pemalu, arogan dan lain sebagainya. Dalam Al-Quran sudah sangat gamblang dijelaskan bahwa mereka seperti kita—manusia— yang beragama dan memiliki kerajaan, bersuku-suku, dan beranak-pinak. Ia pun butuh teman sebagaimana halnya manusia. Sehingga tak menutup kemungkinan manusia ada yang bersahabat dengan jin. Mungkin ada yang bertanya, lantas apa hubungan antara penulis dan jin, serta kenapa pula harus diruqyah?

Translate »