Friday, April 26, 2024
Home > Literasi > Resensi > Rara Mendut, Sebuah Legenda atau Sejarah?

Rara Mendut, Sebuah Legenda atau Sejarah?

Rara Mendut hanyalah seorang gadis nelayan biasa, yang akan dijadikan sebagai salah satu selir oleh Adipati Pragola dari Kadipaten Pati
Judul : Rara Mendut
Pengarang : YB Mangunwijaya
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Genre : Novel, dewasa
Cetakan : Tahun 2008
Ukuran : 16 x 24 cm
Jumlah Hal. : 802 halaman

Ada kekaguman tersendiri ketika membaca novel berjudul Rara Mendut, karya Y.B. Mangunwijaya. Bagaimana tidak, novel yang pada awalnya “ngeri” juga untuk mulai membaca karena jumlah halamannya mencapai 802 halaman ini, berisi cerita sejarah kerajaan Mataram dibumbui romantisme kisah cinta pilu antara Rara Mendut dan Pranacitra.

Biasanya suatu cerita sejarah agak membosankan untuk dibaca, tetapi tidak ketika telah diramu oleh imajinasi Romo Mangun. Kisah-kisah kepahlawanan para tokoh utama dalam novel ini yang kesemuanya adalah perempuan yaitu Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri mampu menghipnotis pembaca untuk penasaran membaca hingga akhir cerita.

Novel ini merupakan sebuah trilogi kisah 3 kaum perempuan dalam mendobrak aturan-aturan umum dan pakem di zaman itu. Perempuan-perempuan tersebut adalah Rara Mendut, Genduk Duku serta Lusi Lindri. Cinta sejati, keteguhan dan kesetiaan yang membuahkan penderitaan bahkan kematian tidaklah menyurutkan perjuangan mereka dalam melawan feodalisme bangsawan Jawa kuno.

Rara Mendut hanyalah seorang gadis nelayan biasa, yang akan dijadikan sebagai salah satu selir oleh Adipati Pragola dari Kadipaten Pati yang menolak mengakui Mataram sebagai junjungannya. Namun, belum sempat dijadikan selir, Adipati Pragola tewas ditangan Tumenggung Wiraguna, seorang panglima perang utusan Mataram. Hingga akhirnya Rara Mendut diboyong secara paksa menuju ibu kota Mataram.

Sebagai buah keberhasilan dalam menumpas pemberontakan Adipati Pragola, maka Sultan Hanyakrakusuma menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna. Saat itu Rara Mendut berusia baru belasan tahun sedangkan Wiraguna telah berusia 50 tahunan. Dan hal yang biasa ketika seorang laki-laki bangsawan mempunyai istri atau selir jumlahnya mencapai ratusan, bahkan usianya terpaut jauh bagaikan kakek dengan cucu.

Rara Mendut menolak diperistri oleh Wiraguna, bahkan ketika Wiraguna “menekan” Rara Mendut agar setiap hari menyerahkan upeti kepadanya, sebagai salah satu cara agar Rara Mendut luluh hatinya dan akhirnya menyerah. Tidak ada kata menyerah bagi Rara Mendut, sehingga timbul ide setengah gila agar bisa menghasilkan uang untuk membayar upeti Wiraguna, yaitu berjualan rokok lintingan di pasar kerajaan yang telah diolesi oleh air ludah Rara Mendut. Sebuah cara yang agak “nakal” dalam mempertahankan harga diri.

Translate »