Saturday, April 27, 2024
Home > Lingkungan > Tiga Hari Selusur Kopi Konservasi

Tiga Hari Selusur Kopi Konservasi

Yuslima selalu menyempatkan memanen kopi setiap minggunya. Setiap pagi, sekitar pukul 07.00 WIB hingga matahari merona di ufuk barat, dia selalu mendampingi suaminya ke ladang kopi milik mereka. Perjalanan ke ladang kopi itu, hanya memakan waktu setengah jam perjalanan dari tempat tinggal mereka. “ Kalau seminggu bisa lah mencapai 100 kg kopi basah panennyo. Lumayanlah hasilnya saat ini. Sekarang kami juga tidak membutuhkan pupuk dan semprot hama untuk membersihkan tanaman,” kata perempuan berkulit putih tersebut.

Ada 18 orang anggota kelompok yang tergabung dalam Masyarakat Ramah Lingkungan Sinar Harapan, Desa Gedang, Kecamatan Jangkat Timur. Setiap anggota kelompok, rata-rata memiliki kebun kopi seluas dua hektar. Persepsi yang terbangun dalam masyarakat terkait dengan luasan lahan kopi, berbanding lurus terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Anggapan itu tampaknya lenyap dengan adanya pelatihan pengolaan perkebunan kopi yang dilakukan.

Kemampuan dalam pengoptimalisasian pengelolaan berkebun kopi yang baik, ternyata menjadi solusi mengurangi bahkan menghentikan pembukaan lahan baru hingga ke kawasan TNKS. Oleh karena itulah, peningkatan kapasitas petani dalam budidaya kopi di  Jangkat dilakukan dengan mengadakan Sekolah Lapang. Ediyanto, Fasilitator Lapagan Lembaga Tiga Beradik (LTB) yang berkonsorsium dengan Pundi Sumatera menyebutkan, bahwa sekolah lapang yang dilakukan mampu mengembalikan kembali tradisi tanam kopi yang sudah dilakukan turun menurun dan ramah lingkungan dengan tanpa menggunakan pupuk.

Dulu kan, kopi ditanam tanpa ada tambahan penggunaan pupuk. Beberapa teknik untuk mengatasi serangan hama seperti penggerek buah dengan menggunakan pepsitisida nabati.” Jelasnya.

Sekolah lapang  sudah dilakukan di 9 kelompok yang tersebar di  kecamatan Jangkat dan Jangkat Timur, maupun Lembah Masurai. Ada lebih dari 144 petani kopi yang mengkuti kegiatan sekolah lapang ini. Mastandar salah satunya, petani kopi di Desa Baru Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin menyebutkan, sekolah lapang memberikan banyak manfaat bagi mereka.

Menurut Mastandar, semenjak mengikuti sekolah lapang, mereka juga diajarkan dalam pengolahan pasca panen. Biasanya kopi mereka petik secara random dengan mencampurkan buah merah dan yang berwarna kuning, maupun hijau. Dengan pengetahuan untuk memetik buah merah, mereka mendapatkan nilai jual yang jauh meningkat. “ Dulu tanpa mengerti petik buah merah, kopi kita dijual dengan standar asal-asalan. Harganya jauh lebih murah hanya sekitar Rp. 20 ribuan per kilo gramnya yang belum di proses. Tapi ketika petik merah kita bisa menjual kisaran Rp .30 ribuan per kilo gramnya. Apalagi kalau sudah diproses menjadi green bean harganya bisa mencapai Rp. 45 ribuan,” sebutnya.

Translate »