Friday, March 29, 2024
Home > Gaya Hidup > Komunitas > Teater Gendhing Muara Enim : Pergerakan, Spiritualitas, Musik dan Kehadiran Saraswati Sunindyo

Teater Gendhing Muara Enim : Pergerakan, Spiritualitas, Musik dan Kehadiran Saraswati Sunindyo

Di Kebun Ada Musik Hadirkan Spiritualitas Lewat Musik Bersama Saraswati Sunindyo

Kentrung merupakan seni pertunjukkan wayang dengan musik dan lagu berbahasa Jawa lengkap dengan nada-nada pentatonis, biasanya mengisahkan babad tanah Jawa dan kisah-kisah lain. Namun, ditangan Saraswati Sunindyo sebagaimana diungkapkan oleh Didin di media sosialnya, mahasiswa ISI Surakarta yang menjadi pasangan mainnya, Kentrung direinterpretasi dan digarap ulang sehingga menjadi karya baru. Melalui Kentrung yang dimainkannya, Saraswati mengibarkan kebebasan dengan bernyanyi menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Nada-nadanya pun jauh dari pentatonis.

Pada malam pertunjukkan di Muara Enim yang sempat Puan.co hadiri, Saraswati memainkan Kentrung dengan alat musik menyerupai rebana besar dan ditengah rebana tersebut bertuliskan surat Al-Ikhlas. Diiringi Didin yang memegang ketipung kecil, Saraswati memainkan Kentrung kurang lebih lima lagu. Diantara ke lima lagu tersebut, Saraswati membawakan gubahan lagu yang terilhami dari puisi sufi  Jalaludin Rumi, lagu daerah Jawa Barat yang dipasangkan dengan tembang Jawa oleh Didin, hingga ke lagu berbahasa Inggris Dona-Dona karya Joan Baez.

Menurut Ihsanul Fikri salah satu tokoh Teater Gendhing yang biasa dipanggil Fikri, pertunjukkan Saraswati Sunindyo baginya merupakan spirit dalam berkesenian. Gejala sosial direspon oleh Saraswati dengan alat musik yang dibawakannya (Fikri menyebutnya Deff). “Ditengah musik modern yang mendominasi, beliau bisa hadir dengan nuansa spiritual. Contohnya itu lagu Dona-Dona karya Joan Baez, rupanya bisa dibawakan dengan Deff,” tandas Fikri.

De Left sendiri merupakan acara berkelanjutan dari Teater Gendhing yang telah dijalankan sejak akhir tahun 2016 dengan periode waktu dua bulan sekali. Saat Saraswati Sunindyo tampil bersama didin, merupakan pertunjukkan yang ke sembilan dari pagelaran acara De Left. Selama itu, De Left digelar dengan tema yang berbeda-beda, dan ditempat yang berbeda pula, namun kebanyakan mengambil tempat di halaman Gedung Kesenian Muara Enim.

Fikri mengatakan bahwa De Left merupakan terminasi musik sanggar Teater Gendhing. Munculnya karena di Muara Enim menurutnya agak jarang ada acara musik yang tak berbayar dan  gratis main. “Kebanyakan ada festival yang  pesertanya harus bayar.  De Left hadir dengan opsi yang lebih longgar, siapa saja bisa main dan bisa menikmati hidangan seadanya dan dilanjut dengan diskusi sebagai penutup, De Left dalam pengertian sisi kiri, ini lebih cenderung bermotif ideologis sebagai counter culture,” papar Fikri.

Puan.co sempat mengikuti pertunjukkan De Left #9 sampai selesai hingga diskusi digelar. Selain mendiskusikan proses perjalanan Saraswati Sunindyo dan Didin, juga mendiskusikan gerakan-gerakan sosial dan motivasi untuk melakukan gerakan sosial. Bagi Fikri, diskusi dipilih sebagai tawaran umum setiap habis pertunjukkan yang bisa menjadi alternatif bagi lahirnya gagasan baru dalam bermusik maupun lainnya. Maka melalui acara tersebut, Fikri juga melakukan pergerakan lewat pendidikan alternatif bagi khalayak Muara Enim. Sebagaimana yang Puan.co saksikan malam itu, turut hadir teman-teman rumah singgah anak jalanan dan pemusik, serta pelaku seni lainnya juga pelaku gerakan sosial yang lebih luas.

Translate »