Friday, April 19, 2024
Home > Literasi > Cerita > Surga yang Menyiksa

Surga yang Menyiksa

“Pokoknya aku minta cerai. Titik!” suara Asri melengking, memecah keheningan. Bunyi jangkrik yang sedari tadi menjadi irama pengiring sunyi malam, tiba-tiba berhenti.

Asrul menatap lekat perempuan di depannya. Mulutnya ternganga lebar, seperti orang melihat hantu. Tak dia sangka, kata-kata haram jadah itu itu keluar dari bibir mungil perempuan yang sudah sepuluh tahun ini menemani hidupnya. Asri yang berdiri di hadapannya bukan lagi perempuan yang ia kenal dua belas tahun lalu.

“Mengapa Mama berkata seperti itu? Istighfar, Ma!” kata Asrul mencoba menenangkan.

Seperti sedang kesetanan, Asri justru semakin naik pitam. Keluar semua sumpah serapah yang selama ini ia sendiri tak pernah mendengarnya.

“Dasar cacat! Kampungan! Kuno!”

Yang disebut hanya terdiam.

Asrul melangkah pelan, semakin mendekat ke posisi Asri berdiri.Tangan kanannya mencoba meraih pundak perempuan yang masih berstatus istrinya tersebut. Tangan kirinya dibiarkan terkulai begitu saja. Sejak terkena stroke dua tahun belakangan, beberapa anggota tubuh Asrul memang tidak bisa berfungsi normal. Tangan kirinya kaku selama berbulan-bulan, lalu tak bisa lagi digerakkan. Jalannya pun sudah pincang karena salah satu kakinya juga sudah tidak berfungsi. Bagian tubuh sebelah kirinya seperti menyusut perlahan.

*

Jam sudah menunjukkan angka 01.12 WIB. Di luar, angin semakin kencang bertiup. Di langit, pelan-pelan awan hitam melumat bulan separuh yang berwarna keemasan. Malam berubah menjadi kian pekat.

Di lantai atas salah satu bagian ruko empat pintu yang berdiri kokoh di Simpang Asri, dua orang masih terlibat pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur bertubi-tubi dari mulut Asri bak peluru yang dimuntahkan senapan serbu jenis AK-47 milik tentara.

Asrul terus berusaha meredam amarah perempuan yang jadi makmum dalam rumah tangganya itu. Ia semakin mendekat ke posisi berdiri ibu dari anaknya ini. Baru akan menyentuh pundak Asri, secepat kilat perempuan dengan amarah membuncah itu menepis tangan imamnya.

“Sudah, tidak usah pegang-pegang! Jangan rayu-rayu! Aku sudah tidak tahan lagi hidup sama kamu.”

Lancar sekali lidah Asri mengucapkan kata “Kamu” kepada Asrul. Padahal, dulu di awal-awal menikah, dialah yang meminta nama panggilan sayang keduanya “papa – mama”. Bahkan sejak keduanya masih berstatus tunangan, satu tahun sebelum mereka mengucapkan janji pernikahan.

Pandangan mata Asrul berubah nanar. Bukan karena jika benar-benar hidup tanpa wanita itu yang membuatnya sedih, bayangan Sari yang baru berumur empat tahun berkelabat di depan matanya.

Translate »