Friday, April 19, 2024
Home > Kupas > Balada Seorang Janda

Balada Seorang Janda

Menurut cerita mantan sekdes – Muchlis – sebagian jalan sekunder pernah dijalankan proyek pengerasan dan pengasplan di zaman ordebaru, tetapi kemudian hancur saat banjir. Demikian juga jalan yang dibangun dengan proyek PNPM tahun 2011 dan 2012, akhirnya sekarang kondisi jalan rusak setelah banjir besar saat Februari 2013.

Sementara Juminem, ia hanya menjadi penonton di tengah hiruk pikuk program pembangunan di desanya, seperti pembangunan jalan dan beragam program pertanian. Kenyataan pahitnya, program-program yang silih berganti tidak kunjung mengubah kondisi hidupnya, bahkan untuk bantuan raskin saja ia tidak pernah menerima.

 

Beban berlapis

Cerita Jumimem diatas merupakan potret perempuan  kepala rumah tangga yang terpinggirkan di wilayah-wilayah yang mengalami krisis lingkungan. Di Desa Rasawari terdapat sekitar tujuh belas kepala rumah tangga yang tidak mengenyam bangku  sekolah. Sebagian dari anak-anak mereka bekerja merantau ke kota.

Kepala rumah tangga di Rawasari dan desa sekitarnya umumnya masih miskin. Kondisi tersebut mewakili kondisi kemiskinan perempuan kepala rumah tangga di berbagai provinsi. Data sekretariat Nasional PEKKA di delapan provinsi menunjukan bahwa perempuan kepala keluarga umumnya berusia sekitar antara 20 – 60 tahun, lebih dari 2,3 % buta huruf ,dan tidak pernah duduk dibangku sekolah.

Mereka menghidupi antara 1 – 6 orang tanggungan dengan bekerja sebagai buruh tani dan sektol informal. Pendapatan rata-rata mereka kurang dari Rp10 Ribu per hari.  Kondisi tersebut diperparah lagi  dengan budaya patriarki, yang  menempatkan laki-laki  sebagai sebagai kepala rumah tangga. Lelaki bertanggung jawab ebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Standar relasi ini menjadi kokoh ketika lahirnya UU Perkawinan No 7 Tahun 1974.

Dalam konteks ini,  kontribusi mereka sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga dan sebagai tenaga kerja seolah tidak tampak “di mata pemerintah”. Dalam pencatatan sensus penduduk, perempuan dikategorikan sebagai ibu rumah tangga.

Kondisi tersebut menjadi faktor tersisihnya perempuan kepala rumah tangga dari berbagai program pembangunan, termasuk  juga  pelatihan adaptasi terhadap banjir yang diklaim atas nama laki-laki.

Padahal faktanya, pembangunan infrastruktur jalan yang berkualitas buruk turut menghalangi akses yang cepat dan mudah bagi layanan kesehatan. Selain itu, berbagai bantuan input pertanian dapat membantu mereka meningkatkan hasil produksi pertanian mereka.

Akhirnya, pembatasan akses yang terus berulang  menjadi faktor memperburuk kondisi kerentanan janda-janda miskin kepala rumah tangga. Mereka tidak dapat memiliki daya  untuk memperbaiki kualitas hidup keluarganya ditengah proyek raksasa bernama pembangunan.

Translate »