Thursday, April 18, 2024
Home > Literasi > Opini/esai > Layanan Prabayar Sastra Indonesia

Layanan Prabayar Sastra Indonesia

Salah satu angkatan sastra Indonesia dalam periodisasi sastra Indonesia adalah Angkatan ’70 atau dikenal dengan sastra kontemporer. Salah satu tokoh sentral angkatan ini adalah Sutardji Calzoum Bahri (SCB) dengan kredo puisi mantra. SCB dianggap salah satu sastrawan yang melahirkan “pembaruan” dalam puisi Indonesia. Sebelum itu, saya mencatat lompatan pencapaian dalam puisi Indonesia ada pada dua tokoh, yakni Amir Hamzah kemudian Chairil Anwar sebagai tonggak puisi modern Indonesia yang tidak lagi “patuh” pada kaidah konvensional perpuisian Indonesia.

Setelah angkatan kontemporer sastra Indonesia, muncul Afrizal Malna (AM) yang oleh Korrie Layun Rampan digolongkan dalam sastra Indonesia Angkatan 2000. Jika Chairil Anwar mendobrak tatanan bahasa puisi lama dan SCB mengembalikan ruh puisi sebagai mantra dengan membebaskan kata-kata dari beban makna, Afrizal Malna menunjukkan kekacauan bahasa dalam puisinya. Eksperimen bahasa dalam puisi AM dihadirkan seolah ingin mengejek strukturalisme. Berbagai kemungkinan pengucapan ia lakukan seperti puisi “Tidak Ada Artinya: Satu Puisi Berulang” dalam antologi Museum Penghancur Dokumen. Bahkan, baru-baru ini di harian Kompas, 13 Januari 2018, AM memasukkan link internet dalam puisinya. Semua hal menjadi bahasa dan dibahasakan dalam puisi-puisi AM.

Dalam perjalanannya, sejarah sastra Indonesia selalu dipenuhi pesta gagasan. Di era digital, pertemuan gagasan bukan monopoli karya tulis ilmiah / esai di koran maupun jurnal-jurnal, tetapi status-status di medsos adalah gagasan-gagasan yang tidak kalah menariknya melahirkan keterkejutan.

Memasuki era serbacepat ini, kondisi kesastraan pun semakin “semarak”. Inilah era cepat saji kesastraan Indonesia dalam gerbang budaya instan. Budaya instan ini telah menumpuk dalam pola pikir manusia dan berlumut-lumut mengaburkan cara pandang manusia pada proses yang alamiah. Begitulah era sastra kekinian berada, nyaris tanpa kontemplasi. Buku-buku dengan mudah dicetak. Namun, miskin gagasan dan miskin tawaran estetik.

Rupa-rupanya, ada yang memanfaatkan era ini. Bukan dalam ruang kontemplatif seperti penyair merespons dan memaknai realitas untuk menjadi bagian dari prosesnya sekaligus menjaga jarak dengannya, tetapi kemudahan ini digunakan sebagai ruang “strategi kebudayaan” manipulatif untuk mengukuhkan kedirian seseorang yang penuh dengan delusi.

Seorang manipulator sastra – Dr. Denny J.A. – dengan kuasa materinya muncul berbekal kondisi zaman now yang serbainstan ini. Semua bermula pada pengukuhannnya sebagai sastrawan berpengaruh dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh tahun 2014. Denny J.A. ada di dalamnya meskipun publik tidak mengenalnya sebagai bagian dari sastra Indonesia, sebagaimana nama-nama yang sudah saya sebut di atas. Adalah Maman Mahayana yang dengan tegas keluar dari Tim 8 yang mengurasi sastrawan berpengaruh itu dan menyatakan mengembalikan uang sejumlah 25 juta rupiah.

Translate »