Friday, March 29, 2024
Home > Gaya Hidup > Jalan-jalan > Kampung Nelayan Tua Itu Bernama Sungsang

Kampung Nelayan Tua Itu Bernama Sungsang

Sungai Musi sebagai kolam renang anak-anak desa

Tidak ada jadwal terencana. Akhirnya, saya tiba di salah satu kampung nelayan di Sumatera Selatan. Sering mendengar cerita kawan-kawan mahasiswa program studi kelautan yang sering bertandang di desa ini. Kebanyakan yang singgah, untuk tujuan penelitian baik mangrove maupun perikanan, namun ada pula yang hanya singgah sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan.

Bertemu teman baru, putra daerah Sungsang, akhirnya saya putuskan mengikutinya pulang kampung. “Kamu mau melihat apa di Sungsang?” tanyanya ragu ketika saya utarakan ikut ke desanya. Saya hanya jawab ingin melihat laut. Lalu, ia pun bingung.

Menempuh perjalanan darat selama dua jam dari Palembang, kami dihadiahi pemandangan pohon kelapa yang menjulang tinggi, terselip sawit di beberapa bagian, dan sawah di beberapa daerah. Kebetulan kami berangkat ketika jalanan sedang ramai oleh hiruk pikuk butiran kelapa yang diangkut menggunakan truk besar, yang katanya masuk pabrik di sekitar Jalan Tanjung Api-Api. Terbukanya akses darat ini meningkatkan tindak pencurian di sekitaran Sungsang.

Kapal-kapal nelayan parkir di Desa Sungsang II, Kecamatan Banyuasin II Banyuasin
Kapal-kapal nelayan parkir di Desa Sungsang II, Kecamatan Banyuasin II Banyuasin

Sungsang sebagai nama daerah sekarang tidak menjual lagi. Pemerintah sudah memberi julukan baru “Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api (KEK-TAA)”. Karena posisi daerah ini memang berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Api-Api, yang menghadap Selat Bangka sekaligus ekor Laut China Selatan.

Tiba di perhentian terakhir travel, kami melanjutkan perjalanan menggunakan becak di atas jalan beton yang ukurannya kurang lebih hanya tiga meter saja. Mobil tidak bisa masuk, hanya becak, sepeda, dan motor.

Sungsang sangat ramai. Dengan rumah panggung rapat yang berjejer di pinggir sungai, suara-suara yang tidak bisa didengar dengan volume kecil, menambah nuansa yang hidup di kampung nelayan, yang akhirnya saya ketahui bahwa terdapat lima desa definitif di dalamnya.

Jujur saja, saya bingung membedakan mana pasar, mana perumahan. Hampir setiap rumah memiliki susunan sama: warung di bagian depan dan ruang pribadi keluarga di bagian belakang. Di sepanjang jalan, kita kan menemukan macam-macam warung, mulai dari warung sembako, perabot rumah tangga, fesyen, material, hingga kuliner yang siap dimakan di tempat atau dibawa pulang.

Dua hari di sana, saya banyak mengobrol dengan orang yang saya temui. Desa tua di pesisir timur Banyuasin ini terdiri dari berbagai suku, yakni Bugis, melayu, jawa, dan lain-lain. Dari segi bahasa, mendengar orang Sungsang berbicara seperti mendengar dialek Melayu yang khas, namun banyak juga yang berpadu padan dengan kosakata Jawa. Juga terlihat keturunan China yang tidak berbahasa Mandarin lagi. Mereka melebur sebagai identitas baru: wong laut (orang Sungsang).

Translate »