Saturday, April 20, 2024
Home > Literasi > Opini/esai > Sriwijaya sebagai Pusat Pengajaran Agama Buddha di Asia

Sriwijaya sebagai Pusat Pengajaran Agama Buddha di Asia

Sriwijaya sebagai Pusat Pengajaran Agama Buddha di Asia

SETELAH sekian tahun menggeluti dunia arkeologi pasca menyelesaikan studi di Universitas Udayana, saya menjadi mengerti bahwa peristiwa yang sekarang booming diperbincangkan, sebenarnya tidaklah asing karena dari dulu memang sudah terjadi. Toleransi yang belakangan dipermasalahkan gara-gara kontestasi politik, telah mendapat keteladanan dari masa klasik.

Beberapa saat lalu terdengar ada konflik antara masyarakat Rohingya dengan masyarakat Buddha di Myanmar. Berita ini digoreng di media sampai berbulan-bulan hingga menimbulkan sejumlah aksi di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia. Secara kasat mata memang seolah-olah telah terjadi friksi berkepanjangan antara masyarakat Rohingya dengan masyarakat Buddha di Myanmar, namun sebenarnya itu akibat dari manuver elit politik saja.

Myanmar sekarang memang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan berkebalikan dengan fakta di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun begitu, dulu ketika Sriwijaya masih eksis Nusantara pernah menjadi pusat pengajaran agama Buddha terbesar setelah Nalanda.

Bambang Budi Utomo melalui studinya mengungkapkan, selain pusat kekuasaan Sriwijaya juga menjadi pusat kebudayaan, peradaban, dan pusat ilmu pengetahuan ajaran Buddha. Hingga permulaan abad ke-11 Masehi, Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha. Pada waktu itu, yang menjadi raja adalah Sri Cudamaniwarman yang masih ada kaitannya dengan keluarga Sailendra.

Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Buddha tidak lain adalah peranan dari seorang bhiksu yang menyusun kritik atas kitab Abhisamayalamkara bernama Dharmakirti. Saking terkenalnya hingga pada tahun 1011 hingga 1023 Masehi, seorang bhiksu dari Tibet bernama Atisa (Dipamkarasrijnana) datang ke Swarnadwipa untuk belajar kebuddhaan pada Dharmakirti.

I-tsing dalam kitabnya berjudul Biografi Pendeta-pendeta Mulia dari T’ang yang Mengajar di India, ditulis tahun 688-695 mengatakan bahwa bhiksu-bhiksu Tionghoa yang ingin pergi ke India untuk menuntut ilmu ajaran Buddha dan membaca teks-teks asli, sebaiknya menetap di Sriwijaya dulu selama dua atau tiga bulan. Di situ menjalani latihan sebelum berangkat ke India.

Selain itu, jauh sebelum agama Islam menyebar di Asia, para saudagar Arab dan Persia sudah berniaga ke Asia Tenggara. Saudagar Arab dan Persia ini sudah lama dikenal di kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Nama Persia yang sekarang dikenal dengan nama Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu dan Ta-shih untuk menyebut orang Arab.

Translate »