Friday, March 29, 2024
Home > Literasi > Cerita > Sebuah Cerita untuk Perlip

Sebuah Cerita untuk Perlip

Batu besar di pantai

BERSAMA gugur waktu merangkai rasa kujatuhkan rindu kepadamu. Lewati gelombang ombak lautan dari pagi ke petang yang berulang-ulang. Bahkan telah kugapai kemilau bintang terlarang. Telah habis ribuan purnama kurindukan kamu. Aku percaya, teramat yakin sungguh, suatu hari pesanku akan sampai kepadamu: Kekasih.

***

 

DAHULU, ada sebuah kisah tentang persahabatan. Persahabatan karib yang mengalir dengan cinta dan tawa. Di antara kersai hujan merinai. Matahari pagi yang bersinar. Silir mengalir. Gelegar gemuruh. Lembaga pendidikan. Guru-guru menjelaskan. Buku yang merangkum cerita. Tulisan yang menuai kisah.

Dahulu, persahabatan karib itu terukir manis dan indah. Persahabatan seorang lelaki dengan seorang perempuan manis nan anggun menawan. Perempuan yang memang sangat menawan. Kala itu, berduka tersenyum mereka lalui bersama meski masing-masing minum dari gelas tahta berlainan materi. Lelaki dan perempuan ini sangat dekat, sangat akrab, bagai lamat pepatah lama “air mendekap tebing”. Tiada satu pun mampu halangi persahabatan mereka meski ada banyak sekali ketidaksepadanannya. Satu dan yang lain selalu ada untuk yang lain. Senandung sukacita mengalun merdu kala itu.

Dahulu, banyak kenangan indah yang mereka pahatkan di hati. Bersama-sama duduk satu bangku. Bercanda-canda hingga dimarahi guru. Marah dan kesal hingga saling lempar buku. Ke belakang sekolah memetik kembang sepatu –bunga pekat merah serupa darahmu. Berdua duduk di baris depan sebelah kanan meja guru. Saling pandang dan tersenyum malu-malu. Dahulu ….

Ah, Ya, Dahulu.

Kenangan indah itu terjadi hanyalah dengan awalan kata dahulu. Cerita yang tercipta ketika puluhan tahun lalu, saat mereka masih kecil –masih memakai pakaian yang kecil-kecil. Saat masa indah itu tercipta apa adanya —mengalir apa adanya. Saat hati terlampau suci untuk dinodai. Kala hati terlampau jujur untuk berbohong. Ketika hati perlahan berdegup merasa rasa, namun masa itu hati juga terlampau keluh untuk menggerimis-rinaikannya.

Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, serta Sabtu mereka selalu bertemu, sedang Minggu adalah pemisah yang sengaja tercipta untuk menimbulkan kerinduan. Keakraban dalam persahabatan yang mereka bina, membuat si lelaki menjadi sangat peduli kepada sahabat perempuannya. Lambat dalam pasti kepedulian itu terus bertumbuh, menjelma sebagai sebuah perasaan sayang yang semakin subur hingga bermutasi menjadi sebuah perasaan agung dalam tahta hidup manusia. Siang berlalu penuh sukacita dan malam tersulam dalam gemilap indah. Sempurna tampaknya.

Translate »