Wednesday, November 5, 2025
Home > Literasi > Cerita > Penggali Kubur yang Cabul

Penggali Kubur yang Cabul

PENGGALI KUBUR YANG CABUL

“Bapak bukan orang sini ya? Soalnya saya jarang melihat.”

“Iya. Saya warga desa seberang nak. Kenapa?”

“Sudah lama dengan profesi ini?”

“Iya sudah lama. Sekitar 30 tahunan. Tapi pekerjaan ini hanya sampingan nak. Sekaligus membantu dan memberi penghormatan terakhir  kepada orang-orang yang mendahului kita kembali pada Tuhan. Kenapa, berminat? Kalau berminat, pasti kelak yang menyediakan rumah terakhir saya adalah kamu,” katanya dengan ragu.

“Ohya…! Bapak pernah mendengar seorang yang bernama Siman?”

“Tidak kalau sekarang. Kalau Siman penggali kubur 40 tahun yang lalu saya kenal. Tapi pada waktu  itu ‘kan, kamu belum lahir!”

“Memang yang 40 tahun yang lalu itu, yang saya maksud.”

“Kenapa menanyakan dia? Dia sudah tenang di alam sana. Dan semoga Tuhan mengampuni segala dosa-dosanya.”

“Amin. Bapak siapanya dia? Kenapa bapak terlihat begitu ikhlas menuturkan doa kepadanya. Bukankah dia itu….”

“Iya nak! saya adalah adiknya Siman.  Dia  memang mempunyai dosa yang sangat besar di desa ini. Dan kuburan inilah, sebagai saksi setiap perbuatan dosanya yang terkutuk”

“Mohon maaf sebelumnya. Wanita yang menjadi korban tindak pencabulannya, sekarang di mana pak?” tanya saya ragu. “Apakah sudah meninggal?”

“Tidak, dia masih hidup. Tapi sudah menjadi wanita yang sangat berusia. Saya akan menceritakan semuanya. Tapi tolong jangan sebarkan cerita ini ke siapa pun. Karena selain orang-orang yang ada pada masa itu. Tidak mungkin tahu dengan cerita ini.

“Iya. Saya akan merahasiakannya.”

 “Wanita itu sekarang tinggal sebatang kara, di rumah yang hampir keseluruhannya rusak. Dinding-dindingnya sudah banyak yang retak, kayu-kayu yang digunakan sebagai pilar-pilar rumahnya, juga semakin keropos. Bahkan memiringkan rumahnya jika dilihat dari depan. Kamu pasti tahu! Karena ia tinggal  tidak  jauh dari sekitar sini.” Memutar kepalanya. Sambil menuding. “Di pertigaan itu, kamu belok kiri. Sekitar lima puluh meteran dari sana, masuklah ke gang pertama/lorong yang berada di sebelah kanan jalan! Nanti, jika sudah mentok di ujung lorong. Nah, di sana dia tinggal. Namanya dulu Maryati, tapi ketika sudah tua dia di panggil nenek Buri. Carilah ke sana jika memang ingin bertemu! Saya ke kuburan dulu, ingin meneruskan galian.”

Seketika saya terkejut. Ternyata, wanita yang selama ini ada di dalam ceritanya dengan gelumang kesedihan, yang bahkan mengunting hati adalah dirinya sendiri pada masa silam. Jadi benar, air mata yang keluar dari lipatan-lipatan jendela matanya. Memang murni mengalir karena meratapi penderitaannya sejak empat puluh tahun yang lalu.

Translate »