Wednesday, November 5, 2025
Home > Literasi > Resensi > Sebuah Petualangan Menyusuri Penjuru Negeri

Sebuah Petualangan Menyusuri Penjuru Negeri

Dalam buku setebal 300 halaman ini, Bung banyak menyisipkan pesan dan kesan mendalam yang bermakna. Seperti ketika ia mengenal orang Batak. Dalam pikirannya, lelaki Batak digambarkan menjadi orang yang kaku, keras dan tak mungkin bersahabat. Namun sayangnya itu terbantahkan ketika ia diajak ke Lapo Tuak. Dan dari sana ia menyimpulkan, “Keras diluar, tapi lembut di dalam (hlm 117). Artinya jika mereka sudah di Lapo Tuak, tak peduli ia adalah sopir, pedagang, pejabat, polisi atau orang biasa maka di sini tak ada perbedaan. Semuanya menjadi satu tanpa adanya perbedaan yang mencolok.

Jika saja buku ini semacam jurnal keuangan dalam bertraveler,  tentu di sana sini ditemukan kalimat pakem yang membosankan. Di sinilah letak perbedaannya antara dirinya dan penutur lainnya. Dengan gaya bercerita ala novelis, Bung berhasil membuat pembaca seakan dibawa dari satu tempat eksotis ke tempat lain. Dengan sisipan foto yang dijepretnya full colour di antara halaman, menambah nilai plus dari buku ini. Dialog yang terasa hidup dengan kedua sahabat dan orang-orang yang dikenalnya secara tak terduga. Maka pembaca semakin asik menelusuri semesta yang ada di pikiran Bung.

Buku ini juga sedikit banyak memberikan informasi bermanfaat bagi pendaki gunung pemula. Berpijak dari pengalaman di medan terjal, curam dan berliku ternyata teori terkadang diragukan kevalidannya. Bung memang tak melulu merincikan biaya dan perkakas apa yang musti dipersiapkan. Tapi ia meletupkan semangat keberanian, tekad yang kuat dan tentu saja kebersamaan terus terjaga. Seperti katanya ketika mendaki dan berada di puncak Gunung Sumeru. “Di ketingggian, aku merasa kecil. Aku merasa tidak menaklukkan gunung, justru gununglah yang menaklukkan kesombonganku (hlm 183).

Di akhir bab, kita seakan diingatkan kembali tentang kerinduan. Rasanya Bung sengaja mencari momen bulan puasa di sana. Ia bertemu Shinta. Seorang sahabat yang kebetulan pulang kampung. Maka punahlah kerinduan pada keluaraga terutama ibunya yang kerap menghawatirkan keadaannya. Berlebaranlah ia di Manado. Dalam hati kecilnya ia menjerit, “Yang paling aku senang dalam petualangan adalah: sejauh apapun kita tempuh, tujuan akhir selalu rumah (hlm 235).

Petualang adalah manusia biasa yang mampu merasakan pedih, penghianatan dan tentu ada pengorbanan yang harus dibayar. Setidaknya dari buku ini kita bisa belajar tentang apa yang dipikirkan orang tak seperti apa yang ditakutkan selama ini. Pikiranlah yang mempengaruhi, mencekoki dan menghantui layaknya media masa yang terkadang berlebihan. Nyatanya tidak demikian dengan kenyataan yang ada. Dunia memang kejam, tapi tak semua serupa preman yang berwajah sangar. Justru dari setiap ketakutan yang ada itu muncul kekuatan tersembunyi. Bahwa di dunia yang fana ini—sekejam apapun itu—kita tidak sendiri. Ada sesuatu yang membuat kita memang tak sendirian menghadapi segala suka dan duka.

Translate »