Tentu saja, kegagalan tersebut mempertimbangkan munculnya kekecewaan dan protes keras manakala kehadiran film tidak searah dengan esensi novelnya. Dan setidaknya, Hanung Bramantyo selaku sutradara juga menyadari hal tersebut, juga kontroversi yang sedang berlangsung atas kembali diangkatnya novel Bumi Manusia ke dalam bentuk film oleh dirinya. Pengalamannya datang langsung menemui Pramoedya semasa hidup demi memohon izin membuat versi film Bumi Manusia yang tidak direspon menjadi salah satu gambaran penolakan sang novelis terhadap niat baiknya ini. Tentu saja, kengototan Hanung juga perlu disikapi optimis sebagai salah satu cara mengenalkan karya agung tersebut ke publik penonton/penikmat film, namun juga patut dicurigai sebagai rekayasa manipulatif demi memungut economical profits atas diangkatnya Iqbaal Ramadhan, seorang artis muda yang dikenal melalui sosok Dilan dalam film Dilan 1990 sebagai pemeran utamanya, hanya untuk memenuhi hasrat laku jual, nafsu komersil.

Kita menyadari bersama bahwa tidak lama sebelum ini peran Iqbaal sebagai Dilan benar-benar menguntungkan produksi film dengan pencapaian statistik sekitar tujuh juta penonton. Pilihan Hanung sebagai sutradara jatuh ke Iqbaal untuk menjadi pemeran utama, tentu saja tidak murni sesuai dengan penyampaiannya dalam jumpa pers (25/5). Menurutnya, Iqbaal layak memerankan sosok Minke karena sama-sama millenial, padahal kenyataannya waktu dan ruang mereka hidup berbeda satu sama lain. Memang waktu berjalan secara dinamis, tetapi karakter sangat menentukan. Iqbaal adalah anak mantan boyband Coboy Junior yang impresinya lekat dengan anak ABG romantisme, apalagi sejak pamor dengan sosok Dilannya menjadi pujaan banyak kaum cewek alay-lebay. Sementara Minke sosok anak sekolah HBS bernasab keluarga Ningrat Jawa abad ke-20 di masa kolonial Hindia Belanda yang berkarakter progres, intelek, idealis, dan dewasa. Meski, karakter dalam film bisa dibuat-buat sesuai sensasi dan ekspektasi dengan estimasi sama antara keduanya, tetapi bukankah dengan rekayasa tersebut malah menghapus esensi karya dan menodai kebenarannya dengan tidak menghargai tujuan penulisnya sebagai referensi sejarah dan dokumentasi?
Mengaitkan konteks kehidupan remaja kolonial dengan generasi millenial dalam segala aspeknya, adalah sesuatu yang naif. Realitas sosial yang membentuk karakter keduanya pun sangat berbeda. Sudah jelas bahwa spirit lahirnya tetralogi Bumi Manusia bermuasal pada citra simbolis sosok jurnalis kritis R.M. Tirto Adi Soerjo pendiri Medan Priyayi 1907, yang berkarakter tegas, keras, dan teguh pendiriannya diabadikan Pramoedya secara tersirat dalam karakter Minke. Itu adalah esensi utama novel tersebut, yakni berisi penyemaian, perjuangan, pergerakan nasiolisme dan bangsanya. Dan tentu, sangat dikotomis dengan pernyataan Hanung Bramantyo dalam wawancaranya bersama CNNIndonesia.com (25/5) bahwa novel tersebut hanya novel percintaan biasa, sangat remaja, sangat ABG, hubungan biasa tentang anak muda yang lagi galau dengan dunianya, bahkan secara terang-terangan memperbandingkannya dengan novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang hanya berkisah lakon rumah tangga yang sakinah, mawadah-warahmah. Menurutnya, masih lebih berat novel spirit romantis AAC dibanding Bumi Manusia yang pernah dicekal Kejaksaan Agung 1981 lantaran diduga mempropagandakan ajaran-ajaran marxisme-leninisme dan komunisme.
