Setidaknya pembahasan dari awal sudah memberikan gambaran bahwa seorang penulis adalah pelaku dari sejarahnya, sedangkan sutradara hanya seorang pencuri insiden dan penjiplak peristiwa dalam sejarah yang cenderung manipulatif dan politis dalam merekayasa dan merebut simpati publik. Karena keberhasilan seorang film maker berada di atas kuantitas penontonnya, hal tersebut menjadi kesadaran terdalam ketika harus berjuang mengadaptasi sebuah novel sejarah ke dalam film masa kini. Tentu saja, cara dan strategi apa pun bakal dibangkitkan demi tercapainya high viewers dan economil profits.
Novel Bumi Manusia dan Rekayasa Marketing
Selanjutnya secara fokus, mari membicarakan buku novel Bumi Manusia dan kabar yang akhir-akhir ini viral, terkait dengan kembali diangkatnya novel tersebut menjadi film oleh Falcon Pictures! Meski sebenarnya kabar pemfilman novel itu sudah tersiar sejak enam tahun lalu, tetapi rupanya baru-baru ini yang paling ramai. Baik jagad kesusastraan atau para pengagum artis pemainnya. Sebagaimana publik sastra ketahui bahwa novel Bumi Manusia adalah salah satu novel legendaris dan fenomenal dari seorang tokoh sastrawan terkemuka tanah air, Pramoedya Ananta Toer (6 Pebruari 1925 – 30 April 2006), bahkan dikabarkan tetralogi novel tersebut pernah mengantarkan penulisnya beberapa kali menjadi kandidat penerima penghargaan Nobel Sastra. Perjalanan panjang proses kreatif Pram dan buku-bukunya melalui pelarangan/pembredelan masa kolonial sampai menerima banyak penghargaan dan penerjemahan ke dalam puluhan bahasa, setidaknya tetap menjadi cerita “keramat” mengenai penokohan sosoknya sebagai sastrawan terdepan Indonesia.

Hampir belum ada satu pun tokoh sastra Indonesia yang proses berkarya dan pencapainya melampaui Pramoedya Ananta Toer. Kisah tragis dan dramatis yang berlangsung selama hidup dalam pemenjaraan Orde Baru atas tuduhan terlibat G30S sampai ke kandidat penghargaan Nobel Sastra yang hampir diterimanya tahun 2005, menjadi semacam keagungan dan menambah angker karya-karyanya. Tentu saja, hanya orang yang tidak memahami bahwa kesakralan sebuah karya itu harus dicapai melalui proses dan keterlibatan penulisnya dengan kisah yang dikarangnya sehingga keutuhan karya tersebut tidak hanya menjadi penting ketika sudah sempurna menjadi novel, tetapi juga bisa menjadi mitos atas berbagai perjalanan melawan perkembangan zamannya sebagai mahakarya yang tetap utuh dengan status, citra, dan aura dokumen historisnya.
Setidaknya, itulah alasan mendasar mengapa pemfilman novel Bumi Manusia menjadi kontroversial di kalangan sastrawan dan budayawan Indonesia, terutama para pengagum karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya Pram yang dibuat berdasarkan catatan sejarah, statistik, riset detail, dan kompleks tentu tidak sebanding dengan versi film yang analisisnya sudah dipastikan serba dangkal, baik melihat akurasi waktu, alur cerita, maupun penyajiannya. Setidaknya dari pengalaman-pengalaman projek ekranisasi novel tersebut sebelumnya sudah dapat dilihat kegagalannya, sejak Garin Nugroho tahun 2004, Riri Reza melalui produksi Miles Films 2012 sampai ke Anggy Umbara 2015 selalu menemukan halangan terkait dana dan setting yang memungkinkan film tersebut hadir secara maksimum.
