Entah apa yang kurasakan, saat ia mengucapkan kata terakhir itu. Aku benar-benar baru tersadar dari mimpi yang kubangun selama ini. Aku berusaha manata satu-persatu kepingan hati yang terluka.
“Mungkin aku terkejut dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Dan aku masih belum tahu apa yang kurasakan saat ini, aku bahagia tentu saja aku sangat bahagia. Akan tetapi, ah, aku tak tahu.” Hanya itu yang sanggup kukatakan mengungkapkan kegamangan yang menjalariku perasaanku selama ini.
“Aku tahu ini rumit, aku mencintaimu memang dengan cara yang terkadang sulit kaupahami.”
Tiba-tiba telingaku seperti tersekat mendengarkan itu dan kembali yang kunikmati tanpa rasa.
“Terlalu lama, aku hilang dalam ingatanmu. Bukan mudah untuk menyakini hati yang terlanjur kukecewakan. Sekali lagi ku katakan aku mencintaimu dengan cara yang terkadang sulit untuk dipahami,” ungkapnya.
Dulu, ia sengaja menyudahi perasaannya, berharap aku dapat menanggapinya. Saat ini semuanya menjadi tak berarti lagi.
“Kau tahu berapa lama aku belajar melupakan sebuah harapan? Kau tahu bagaimana rasanya lari dari bayangan yang kauciptakan sendiri? Lelah dan teramat lelah. Hingga tiba- tiba bayangan itu hidup dan nyata kembali. Apa yang dapat kau perbuat dengan keadaanku? Begitu mungkin yang kurasakan saat ini. Tolong jangan persulit aku dengan kerumitan yang kauhadirkan!” ucapku menahan isakan yang tiba- tiba bergerumuh di dalam dada.
“Jadi, kau tidak bisa menerima sebuah harapan yang kuberikan ini?” tanyanya.
“Kau memiliki sebuah cinta yang tidak dapat kupahami. Biarkan saja cinta itu berlalu dan meninggalkan sebuah luka yang mungkin juga tidak dapat kau pahami! Aku tak pernah bisa mengerti akan perasaan yang kau berikan. Apakah aku harus menerima rasa yang tidak kumengerti itu?” ucapku perlahan menegaskan semuanya.
Yang tercipta selanjutnya hanya kebisuan. Kini hari-hariku masih tetap sama: tanpa sebuah cinta yang tak dapat kumengerti.
