Wednesday, November 5, 2025
Home > Literasi > Cerita > Schatzi

Schatzi

“Melupakanmu, dengan membuat kosong hatiku itu teramat sulit. Benar-benar sulit, tapi aku kembali bersyukur untuk apa yang telah kudapatkan saat ini membawaku menemui hari yang tak pernah kubayangkan.”

Aku masih mematut diri pada pantulan cermin mengenakan pakaian yang telah lama kusimpan di lemari dengan tatanan rambut yang mungkin tak pernah lagi menghias setiap helaian hitam di kepalaku. Masih kulihat wajahku, persis beberapa tahun yang lalu aku pernah berdandan untuknya dengan pakaian yang sama, dengan gaya rambut yang sama, dengan make up yang sama, dan tentu saja dengan warna lipstik yang dulu pernah ia sukai.

Kuarahkan pandanganku, tepat di sebuah jam kecil di sudut ruangan. Setengah delapan kurang lima menit, dan kembali kudengar handphoneku berbunyi. Sekilas kulihat pesan singkat di sana.

“Aku di perjalanan, lima menit lagi aku sampai. Tunggu ya!”

Ku balas singkat. “Ya, aku tunggu.”

Tak berapa lama, kudengar sebuah ketukan. Langkah kakiku tergesa membukakan pintu. Tepat, pintu apartemenku terbuka. Aku melihatnya mengenakan paduan jeans dan selembar kemeja lengan panjang. Sama, persis saat pertama kali ia mengajakku kencan beberapa tahun lalu. Lama, kami pun  saling berpandangan dan memasuki dimensi lain yang penuh rasa hangat.

“Yuk, sudah siap kan!” ucapnya mencairkan kebekuan yang terjalin antara kami.

“Iya” ucapku.

Kami lalu berjalan beriringan, kulihat ia ragu menggenggam tanganku. Sekilas, aku tersenyum dan menghapus keraguan. Tanganku tiba-tiba saja berada dalam genggamannya. Masih sama, tak ada yang berubah. Aku merasakan getaran yang sama, kehangatan yang sama seperti pertama kali ia menyentuh jemariku.

Kami tiba di tempat yang ia janjikan. Tempat yang dahulu sering kami datangi untuk meluapkan waktu untuk sekedar bercerita bahkan menangis bersama. Dengan lekas kami duduk saling berpandangan.

“Sebuah kesalahan terbesar bagiku karena membiarkanmu memilih jalanmu sendiri. Atas sebuah kesalahan itu, aku membiarkan jiwaku mengembara mencari sepotong hati yang sempat kucampakkan. Butuh waktu dan keberanian untuk menemuimu kembali. Kau tahu itu, aku mengumpulkan semuanya untuk dapat menemuimu malam ini. Aku mempertaruhkan segalanya, termasuk keegoisanku yang dulu pernah menyakitimu,” ungkapnya.

Aku memahami setiap kata demi kata yang ia ucapkan dalam keheningan.

“Kau salah, jika selama ini kau berpikir aku mengacuhkanmu. Kau tahu aku mengikutimu dari setiap hasil karyamu. Aku terus mengikutimu dalam setiap harimu, dan aku memikirkanmu sejauh yang mungkin tak kaupikirkan,” tambahnya.

Translate »