Wednesday, November 5, 2025
Home > Literasi > Cerita > Schatzi

Schatzi

“Aku ingin kita dapat saling bercerita tentang hidup dan mimpi yang tidak lagi dapat kita bagi selama ini,” tambahnya.

“Yang ku tahu, kau sudah hidup di kota ini. Aku mengikuti perkembanganmu dari berbagai novel best seller yang kau tulis. Kudengar kau juga menjadi editor di sebuah percetakan ternama. Wah, selamat ya, Yun!” ucapnya  beruntun, tanpa menyisakanku waktu untuk menjawabnya. Aku tersenyum, mendengarkan setiap ucapannya.

“Ah, ini hanya persoalan sebuah keberuntungan saja,” jawabku.

“Ya sudah, nanti malam kujemput untuk makan malam bersamaku. Aku ingin kau tak menolak tawaran dari seorang teman lamamu ini,” ucapnya.

Hanya sebuah anggukan yang dapat kuberikan, sambil menerima sebuah kartu nama yang di dalamnya tertera nomor telepon genggamnya.

“Bisa aku minta nomor teleponmu?”

Akhirnya, kusebutkan deretan angka-angka. Kulihat ia berlalu dengan sebuah senyuman. Persis dulu, ia pun berlalu dari hidupku dengan sebuah senyuman. Ia juga pernah datang bersama senyuman hingga akhirnya beranjak dariku juga dengan sebuah senyuman.

Sesaat setelah kepergiannya, kututup pintu apartemenku. Kuletakkan kuntum-kuntum mawar putih itu, tepat di sebuah meja kecil di ruang tamu. Ia memang pandai memberikanku kejutan dengan hati yang tak bisa kutebak. Akan tetapi mungkin kali ini, aku tidak pernah berharap kejutan apa pun, termasuk kehadirannya di depan pintu apartemenku beberapa menit yang lalu. Kuhempaskan tubuhku ke ranjang, yang tiba-tiba saja menjadi mati rasa. Semua rasa itu bergabung dalam molekul senyawa hingga yang kurasakan hanya ringan dan kosong. Lalu aku mengeja perasaanku dengan ketakpercayaanku. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Sebuah nomor tanpa nama, namun aku tahu dengan pasti siapa yang menelepon.

“Ya, Halo.”

“Ini Yuni, kan?” sahut suara di seberang sana.

“Iya, maaf ini siapa ya?”jawabku sedatar mungkin. Pertanyaan itu kuajukan agar ia tak tahu bahwa meski dalam jangka waktu selama ini tak mungkin aku bisa melupakan suara yang dulu pernah membuat hatiku bergetar.

“Ini  Fajar. Nanti malam kujemput jam setengah delapan ya!”

“O, ya, nanti SMS saja kalau sudah mau ke sini,” jawabku seadanya.

Seperti biasa, ia pun terdiam. Hingga akhirnya melepaskan kesunyian untukku, untuk hidupku dan mimpi-mimpiku. Beberapa saat hanya hening.

“O, ya sudah. Sampai nanti.”

“Oke,” itu ucapan terakhirku, sebelum akhirnya telepon itu ditutup.

Entah mengapa kehadirannya kali ini teramat hambar. Bukankah dulu aku memang menyukai segala kemisteriusan yang ia miliki? Setiap kejutan yang ia buat memiliki makna khusus, tetapi tidak untuk kejutan kali ini. Aku benar- benar tak lagi dapat berdamai dengan hatiku, hati yang terlanjur ia buat berdarah untuk sepotong harapan yang dulu sempat ia campakkan.

Translate »