Mas Sigit divonis gagal ginjal dan harus segera melakukan cuci darah.
Jangankan aku dan keluarga yang cukup awam dengan penyakit itu, Kak Ita sebagai orang kesehatan pun tidak mempercayai hasil lab dan berbagai rangkaian pemeriksaan yang telah dilakukan. Sejak vonis jatuh, Mas Sigit mulai melakukan cuci darah. Aku hanya mendengar perkembangan sakitnya melalui mama.
Di balik itu Kak Ita tetap menjadi istri yang setia. Suaranya tidak mampu menutupi keletihan dan kekhawatirannya atas Mas Sigit. Seumur pernikahannya, baru ini Mas Sigit sakit serius hingga hampir tiga minggu opname di rumah sakit.
“Baik, Ma. Ewi akan pulang ke Lampung dengan travel sore ini. Tiket pesawat biarlah hangus,” aku memastikan kepulanganku pada Mama.
**
Tanah kuburan almarhum Mas Sigit mulai di taburi bunga oleh kerabat dekat. Kak Ita ku duduk lunglai di atas nisan dengan tangis yang tak lagi bersuara. Beberapa sahabat sekolah menyangga tubuhnya agar dapat terus berdiri. Di sampingnya ada Thia dan Rafli dalam kesedihan yang tak terucap.
Kemarin adalah jadwal cuci darah Mas Sigit. Kondisinya drop sebelum ritual cuci darah selesai. Bergegas Kak Ita dan tim perawat membawanya kembali ke ruang perawatan. Tubuhnya dingin dan sedikit menggigil.
Aku sempat keluar untuk mencarikannya kaos kaki di minimarket terdekat. Ku lihat Kak Ita sibuk menyelimuti tubuh Mas Sigit dan berupaya memberinya susu hangat serta bubur cair.
Sejak dari ruang cuci darah sampai ke ruang perawatan, Kak Ita terus mendampinginya. Kadang ia berbaring di sebelah Mas Sigit dan membisikan kata-kata untuk menguatkan teman hidupnya itu agar dapat bertahan. Tangannya menggengam erat telapak tangan Mas Sigit. Dan kami hanya bisa berdoa, Mas Sigit dapat melewati masa kritisnya malam itu….
**
Tangis Kak Ita membangunkanku yang sempat tertidur di lantai dekat ranjang rumah sakit.
Tetangga ruangan yang mendengar mulai berdatangan dan berinisiatif membacakan surah yasin.
Keluarga mulai ditelpon.Termasuk Thia dan Rafli yang sebetulnya juga baru saja tiba di Kotabumi karena bertepatan dengan ujian semester. Suasana di kamar begitu tegang dengan rasa takut dan sedih yang bercampur baur.
Kak Ita terus ada di sisi Mas Sigit. Tangisnya tidak terbendung. Dalam isaknya lamat-lamat ia tuntun suaminya untuk terus menyebut nama Allah.
”La illa haillaulloh……la illa haillaulloh…..Allah…Allah…Allah,” tangis kami semua pecah mengantar sakaratulmaut yang sedang di hadapi Mas Sigit. Ia pun pergi dengan tenang tepat pukul 02.15 WIB.
**
Biodata Penulis
Dewi Yunita Widiarti, sehari-hari bekerja di sebuah LSM lingkungan di Jambi.
