Wednesday, November 5, 2025
Home > Literasi > Resensi > Menonton Marlina dalam Empat Babak

Menonton Marlina dalam Empat Babak

Menonton Marlina dalam Empat Babak

 

Babak III

Pada babak kedua, sembari kencing, Novi terus mengoceh pada Marlina di sebelahnya. Dia mengejek bodohnya pria tentang tiadanya pengetahuan soal libido perempuan saat hamil. Kebodohan lelaki menjadi guyon gelap sekaligus satire.

Pada babak ketiga posisi lelaki juga timpang. Lelaki diselipkan pada supir yang mati dibunuh perampok, ayah Topan si penjual sate yang wajahnya tidak diperlihatkan, polisi yang mengabaikan pelapor berlama-lama, perampok yang melepaskan sanderanya hingga kemudian mati dipenggal oleh perempuan hamil.

Ketimpangan sosial juga seperti dimampatkan dalam babak ketiga. Bagaimana kepolisian yang tidak bisa menangani kasus dengan cepat karena keterbatasan fasilitas, bagaimana transportasi umum yang jarang lewat sampai Novi yang sulit melahirkan karena bidan dianggap tidak tahu mengapa kandungan Novi sampai berumur 10 bulan.

 

Babak IV

Pada babak terakhir kita kembali bertemu dengan mumi suami Marlina. Marlina juga pulang dan ada Franz dan Novi di rumahnya. Franz melepas kain tenun Sumba yang menutupi tubuh mumi.

Franz adalah satu dari dua perampok yang masih hidup. Sedang air ketuban Novi mulai menetes. Kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Ingin melahirkan tapi sedang disandera perampok.

Franza membawa tubuh Markus- yang tak berkepala. Memosisikan tubuhnya seperti mumi suami Marlina. Mengambil kain mumi dan memasangkannya pada Markus.

Marlina tiba dan memberikan kepala Markus pada Franz.

“Terimakasih,” kata Franz.

Setelah memasangkan kepala Markus, Franz minta dibikinkan sup ayam pada Novi. Sedang Marlina, dia ingin menidurinya.

Novi merebus air. Dia tak tahan, bayi dalam perutnya ingin keluar tapi dia bingung harus bagaimana. Dia duduk, berdiri lagi, mengambil parang, kemudian kembali ke dapur melanjutkan masak tapi tak jadi. Namun, akhirnya dia membulatkan tekad.

Dendam pun merasuki diri Novi sebab Franz juga menganggu rumah tangganya. Sedang mumi suami Marlina yang tak lagi diselimuti kain tenun tetap masuk dalam frame. Dia tetap diam.

Saya pun diam dan terhenyak mengikuti detik demi detik film bergenre Satay Western garapan Mouly Surya ini. Keindahan Sumba membuat saya seketika ingat pada Djanggo Unchained yang digarap Quentin Tarantino, atau film koboi lainnya.

Kerasnya karakter Marlina, guyon-guyon yang terasa gelap, posisi perempuan sebagai subjek sekaligus objek, ketimpangan sosial bercampur dalam empat babak. Sungguh saya tidak rugi menghabiskan malam saya di bioskop menonton Marlina yang mendapat pujian dan penghargaan di beberapa negara ini.

Translate »