Thursday, November 6, 2025
Home > Literasi > Cerita > Gadis Ngarot

Gadis Ngarot

gantung diri

/1/

RUMAH bilik berdinding anyaman bambu dan beratap daun rumbia itu sejak matahari pagi tersembul di antara dua pohon jati tampak lengang. Tak tampak ada kegiatan bila dilihat dari luar rumah. Namun sebenarnya, kesibukan yang tidak biasa menguras perhatian semua anggota keluarga di dalamnya.

“Lekas Tri, semua gadis dan jejaka ngarot sudah berkumpul di rumah Bapak Kepala Desa Lelea! Sebentar lagi arak-arakan ngarot dimulai, bisa ketinggalan kita,” seru Mimi Roedah tak sabar. Namun Danastri tak jua beranjak, ia masih duduk di tepi ranjang besi menghadap sebuah kaca besar yang dibingkai dengan ukiran kayu jati berwarna coklat gelap. Berkali-kali ibunya bolak-balik dan mondar mandir keluar masuk kamar untuk melihat kesiapan Danastri. Seakan Mimi Roedah ingin membayar lunas hutang tahun lalu, Danastri tak ikut ngarot karena alasan sakit. Sebenarnya saat itu Danastri tidak sakit, ia sengaja menyelimuti badannya dengan sehelai selendang batik paoman dan berpura-pura layaknya orang demam.

Mimi Roedah saja yang ikut,” gumam Danastri pelan.

“Malas, Mi. Dilihat banyak mata lelaki,” jelas Danastri mencoba membuat alasan.

“Hus, ngarot itu untuk gadis atau jejaka saja,”  nada bicara Mimi Roedah mulai keras.

“Ya, habis mimi kelihatan paling semangat!” ucap Danastri.

Mimi Roedah tersenyum mendengarnya lalu ia berkata, “Tri, Tri, Mimi menikah dengan mama karena bertemu di ngarot itu.” Kini mata Mimi Roedah seperti lapisan-lapisan pelangi di langit biru mengenangkan pertemuannya dengan seorang jejaka bernama Saridin.  “Dalam acara tatap wajah gadis ngarot dengan jejaka ngarot, kerling mata mama-mu itu yang bikin lumer hati mimi. Nyes rasanya.” Kenang Mimi Roedah begitu syahdunya sambil terpejam-pejam kedua bola matanya.

Suaminya, Saridin yang tengah duduk menunggu di kursi ruang tamu yang terbuat dari bambu mendengar penuturan istrinya kepada anaknya Danastri ikut tersenyum-senyum sambil sesekali berdehem-dehem tanda sepakat.

“Tuh kan, mama-mu batuk-batuk. Kelihatan sekali kalau ia merasa seperti yang mimi rasakan,” senyum Mimi Roedah makin merekah.

Danastri jadi ikut tersenyum menyaksikan keromantisan bapak ibunya. Lalu dua biji matanya melirik ke wajah Mimi Roedah yang sedang dilanda kenangan indahnya.

“Jadi, Mimi ingin Danastri juga mendapat jodoh di ngarot nanti?” desah Danastri lirih. Disentuhnya rangkaian bunga di kepalanya seakan mahkota bunga itu menjadi beban dalam hatinya.

Mimi Roedah memandang anaknya dengan penuh sejuta pengharapan. “Siapa tahu Tri, umurmu kan sudah delapan belas tahun, sudah pantas untuk menikah. “Sudah, ayo cepat berdiri! Mama-mu sudah lama menunggu. Kasihan,” seru Mimi Roedah.

Translate »