Jangan menyalahkan keadaan jika sekarang generasi tua sering ketinggalan. Dunia memang punya cara sendiri untuk mengungkapkan kehendak. Tentu tidak lupa dengan cara-cara yang manusiawi. Meski sekarang di dunia virtual dan layar kaca sedang banter-banter-nya diberitakan tentang Gunung Agung yang sudah siaga satu. Namun penduduk sekitar diharap tidaklah gusar menghadapi sabda yang demikian. “Pa, kenapa peristiwa itu disebut bencana?” tanya anakku. Ia penasaran karena memang baru sekali itu mendengar berita tentang gunung yang akan meletus.
Sebenarnya tidak ada bencana karena itu memang sudah kehendak alam. Kita sebagai manusia hanya meminjamnya sesaat saja. Lucu sekaligus menyebalkan memang ketika mendengar penyebutan bencana di pemberitaan. Seolah-olah manusia dengan entengnya menghakimi alam tak berkesudahan. Aku bilang kepada anakku, jangan mudah menelan informasi yang belum tentu kejelasannya. “Kau harus memikirkannya dengan seksama”, kataku sesaat sebelum ia masuk ke kelas.
Ketika ia lahir, aku masih umur 35 tahun. Kutimang dengan penuh kasih sayang, semoga keberadaannya dapat menjadi lentera di tengah keluarga. Setiap hari ibunya dengan sabar mengajarinya menjadi perempuan yang anggun. Ia jarang ditegur karena istriku tahu seorang anak jangan suka ditakut-takuti. Kami ingin anak itu tumbuh sewajarnya dan tugasku bersama ibunya hanya merawat dan menjaga sebisanya.
“Entah, besok ia akan menjadi apa? Pa, dulu selalu berharap anak kita bahagia tanpa rasa takut menghampiri dengan sengaja.” Aku hanya mengangguk. Istriku juga paham, aku jarang bicara karena memang kami tidak suka bertengkar. Buat apa berbuat seperti itu? Bukankah sejak awal sudah bersepakat untuk seiya-sekata?
Dulu aku menikahinya dengan hati yang mantap. Tidak ada permintaan aneh-aneh, yang penting kami dapat menjaga komitmen dengan akal sehat. Jangan memulai hal yang kurang sehat. Aku pernah mengatakannya di depan istri dan orangtuaku. Karena aku sebenarnya sudah jenuh mendengar pertengkaran dari dua mulut yang enggan mengalah.
Kadang aku bertanya, kenapa hal konyol semacam itu dipertontonkan di depan mata? Hah, sudahlah! Aku bersama istriku ingin memulai tradisi yang baru. Ibarat kata seperti peristiwa sesudah Bharatayudha. Dulu aku pernah ingin seperti Dewabrata. Bersumpah demi ibunya tidak akan menikah demi keberlangsungan sebuah tahta. Namun sekarang nyatanya aku sudah punya pasangan. “Ma, aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana,” kataku meniru seorang penyair sebelum tidur dan pergi menuju peraduan. Tabik!
