Wednesday, November 5, 2025
Home > Literasi > Cerita > Remah-remah Kenangan

Remah-remah Kenangan

Remah-remah Kenangan plus biodata

AKU pikir berbicara di depan orang banyak itu mudah namun ternyata sebaliknya. Banyak hal yang perlu dipikirkan, dan sesuatu yang sifatnya dadakan pasti akhirnya garing. Dusun di mana kutinggali memang memiliki pemuda yang cekatan. Mereka mampu menyelesaikan pekerjaan yang kata orang rumit dan melelahkan. Berpikir panjang pun tidak asal apa yang direncanakan purna seketika.

Cekatan dalam artian minim bicara dan giat bekerja. Mereka sering berkorespondensi dengan teman di luar kota. Bertegur sapa, bertukar gagasan lewat surel dan surat kabar. Setiap pidato kaum tua menghampiri gendang telinga, mereka lekas memalingkan muka. Kaum tua memang dari ukuran tenaga sudah jauh berkurang. Namun, pengalaman terkadang tidak demikian. Susah memang berbicara di depan orang banyak karena semalam aku merasakan pengalaman serupa.

Kata kawan sebaya, aku paling jago menulis tapi lemah sekali di ranah public speaking. Aku merenungkan kritikan itu di beranda rumah. Sedangkan, istriku sedang merapikan beberapa helai pakaian yang sedianya diangkut ke Surabaya. Sudah seminggu belakangan ia menjalankan bisnis online, semata-mata agar dapur kami tetap ngepul. Apalagi sekarang harga kebutuhan pokok lagi melejit. “Pa, kita harus mengencangkan ikat pinggang,” katanya.

Menjalani hidup di era sekarang memang serba tidak beraturan. Setiap orang harus cerdik mengatur siasat agar tidak tercekik di persimpangan. Dunia literasi tidak selalu memberi kepastian janji hidup kami bakalan sejahtera seperti orang kantoran. Ngutang tetangga kanan-kiri sudah hal biasa ketika isi dompet ludes entah ke mana.

Krisis ekonomi tidak sekali-dua kali menghampiri keluarga kecil ini. Namun, ada yang lebih genting karena sekarang kami mendengar para tetua sedang mengalami friksi gara-gara ada pemahaman yang kurang sejalan. Entah kenapa demikian, di ibukota atau pedesaan sama saja, selalu ada friksi sosial. Mereka yang seharusnya menjadi anutan malah ogah berjabat tangan. Kalau dibiarkan lantas kami bingung menentukan figur teladan.

Cerita yang kutulis memang kebanyakan ngelantur, persis seperti orang tidur pulas setengah sadar. Plot yang sudah ditata pun kadang tidak sesuai dengan harapan. Apakah itu memang karakter dasar manusia yang gampang terprovokasi ucapan liyan? Masih banyak hal yang kurang kupahami. So, terkadang aku tertawa sendiri melihat tubuh ini di depan cermin. Katanya jago nulis, tapi kenapa disuruh bicara di depan orang malah geragapan?

Pernah suatu ketika aku membaca puisi, tapi anehnya tidak bisa setenang penyair kawakan. Apa aku kurang jam terbang? Mungkin, jika sejak awal aku tidak ketakutan pasti sudah selantang almarhum Rendra. Tapi sayang, aku bukan ia si lelaki yang berjuluk burung merak itu. Jujur aku kagum dengan kepiawaiannya memikat perempuan. Menggunakan mantra sastranya untuk menggedor tembok tebal kaum ningrat yang berpending emas.

Translate »